Indonesia tak memerlukan raja media macam Elliot Carver. Pemilik Carver Media Group Network (CMGN) dalam sekuel James Bond berjudul Tomorrow Never Dies ini menciptakan berita dengan cara mengacak sinyal GPS yang nyaris membuat runyam hubungan Inggris dan Tiongkok sehingga kedua negara hampir perang.
Indonesia juga tak memerlukan James Bond sekelas Pierce Brosnan untuk menghajar pemilik media, terutama televisi, agar tidak terjadi perang antara KPK melawan Polri, karena berita-berita yang muncul di Indonesia kemungkinan besar tidak diciptakan oleh raja media yang membidik berita eksklusif, macam Elliot Carver yang menginginkan berita eksklusif dari Cina, seperti di Tomorrow Never Die.
Berita/peristiwa/kejadian besar sejak masa kampanye pileg dan pilpres hingga yang terakhir kisruh KPK dengan Polri datang silih berganti. Peristiwa bencana alam maupun bencana kecelakaan pun silih berganti. Peristiwa yang tak diciptakan oleh salah satu stasiun televisi di negeri ini, terbukti tak ada satupun stasiun TV yang benar-benar punya eksklusivitas siaran, untuk mengatakan bahwa pola yang disuguhkan oleh hampir semua stasiun televisi nasional di Indonesia adalah garing!
Pola-pola garing dalam peristiwa besar itu mari kita cermati satu-satu.
1. Stasiun televisi nasional di negeri ini, terutama mereka yang mengaku sebagai stasiun berita, menyuguhkan straight news yang monoton pada saat siaran langsung.Sering kita saksikan tiki taka ala klub Barcelona yang melibatkan anchor di studio dengan reporter di lokasi peristiwa dan narasumber yang diinterview si reporter. Tapi tiki taka tersebut tidak seindah Barca karena materi yang ditanyakan oleh anchor tidak berkembang, bahkan ketika layar dipindah-pindah dari kantor Basarnas ke RS Bhayangkara Surabaya atau Pangakalan Bun dalam peristiwa jatuhnya pesawat AirAsia. Bisa jadi reporter memang tidak berbekal materi/pendalaman yang memadai sehingga ia bersikap menunggu pertanyaan anchor di studio.
Celakanya, ketika kita memindah channel, TV lain pun melakukan hal serupa. Saat TV "Anu" menceritakan tentang kehadiran anggota Komisi III di rumah Komjen Budi Gunawan, TV lain pun sama. Atau ketika TV lain mengisahkan kehadiran keluarga korban AirAsia untuk proses identifikasi, televisi tetangga pun melakukan hal serupa.
Reporter-reporter TV seyogyanya diberi bekal pengetahuan yang cukup untuk melakukan laporan pandangan mata. Saya pernah acungi jempol pada seorang reporter TV -- sebut saja TV "Em" -- yang dengan penuh semangat dan pintar menghidupkan suasana tatkala dia meliput tanggul Lapindo yang jebol sehingga pemirsa seakan benar-benar datang di tempat kejadian. Sayangnya, reporter ini pula yang di-bully banyak orang karena mewawancarai keluarga korban AirAsia yang masih dirundung duka, dengan cara menyodor-nyodorkan mikrofon tanpa berempati.
Laporan pandangan mata boleh dipindah-pindah dari Jakarta ke Surabaya lalu ke Aceh atau kota-kota lain. Namun sebaiknya reporter dan anchor bersinergi dengan baik, dan jadikan reporter benar-benar menjadi saksi kejadian. Bukan reporter yang tidak mampu memancing emosi pemirsa dengan kalimat-kalimatnya yang datar dan seolah hapalan, dan bukan reporter yang gagal 'mengajak' pemirsa ke sidang paripurna yang mengegolkan Budi Gunawan menjadi Kapolri.
2. In-Depth News yang Memihak dan Mengadu
Pola garing penyiaran berita oleh stasiun-stasiun TV khusus berita ditopang pola oleh "format hapalan". Format itu antara lain mengundang narasumber untuk membahas peristiwa di studio. Jumlahnya dua hingga tiga orang. Lalu ada narsumber lain yang diwawancarai jarak jauh. Biasanya narasumber yang diwawancarai jarak jauh itu berada di pihak berseberangan dengan orang-orang yang diundang ke studio.
Intinya, TV-TV ini ingin menggali berita melalui komentar-komentar. Dalam bahasa jurnalistik disebut in-depth news. Tetapi niat baik untuk menyodorkan fakta-fakta, data-data, dan pandangan-pandangan perihal sebuah peristiwa tak jarang menjadi ajang cekcok antarnarasumber. Silang pendapat yang kerapkali diarahkan karena narasumber yang diinterview di studio biasanya satu rel dengan misi TV bersangkutan. Ada sejumlah anchor di satu stasiun (yang mungkin namanya sudah Anda tahu) yang amat mahir menggiring narasumber untuk 'berbelok'. Tadinya narasumber ini netral-netral saja, tetapi karena dia sering dipotong kala berbicara, jadilah narasumber ini mengikuti irama anchor tadi, dan kemudian menjadi memihak satu pihak!