Pengungsi Kurdi yang termarjinalkan di Timur Tengah
Etnis Kurdi merupakan salah satu kelompok etnik yang menjadi penduduk asli daratan Mesopotamia dan dataran tinggi bagian tenggara Turki, barat laut Suriah, Irak Utara, Iran barat laut, dan Armenia barat daya. Sekitar 25 hingga 35 juta orang Kurdi mendiami kawasan tersebut termasuk komunitas di Armenia, Georgia, Kazakhstan, Lebanon, Suriah, dan Eropa. Bahkan agama dan kepercayaan bangsa Kurdi berbeda,
beberapa dari orang Kurdi menganut agama Kristen, Yahudi, Yazidi, dan Zoroastrian meskipun mayoritas dari mereka menganut Muslim Sunni. Bahasa yang digunakan oleh Bangsa Kurdi mayoritas adalah bahasa Kurdi dan bahasa Iran Barat yang berkaitan juga dengan bahasa Persia dan Pashto. Pengidentifikasian bangsa Kurdi masih menimbulkan keambiguan.
Beberapa dari keturunan Kurdi baik dari ayah, ibu ataupun keduanya meskipun tidak berbicara bahasa Kurdi sebagai bahasa ibu mengindentifikasi diri mereka sebagai orang Kurdi.
Kehidupan bangsa Kurdi cenderung nomaden atau berpindah-pindah tempat, berputar di sekitar penggembalaan domba dan kambing serta praktik pertanian marginal. Pemberlakuan batas-batas nasional pasca Perang Dunia I menghambat migrasi musiman ternak dan memaksa sebagian besar Bangsa Kurdi untuk meninggalkan cara hidup tradisionalnya dengan hidup menetap di desa sambil bertani atau bekerja di sektor non-tradisional.
Masyarakat tradisional Kurdi umumnya dipimpin oleh seorang syekh atau aga. Identifikasi kesukuan dan otoritas syekh masih sangat terasa meskipun di daerah perkotaan besar masih berada pada tingkatan yang lebih rendah.
Dalam masyarakat tradisional Kurdi, pernikahan umumnya bersifat endogami atau perkawinan dalam lingkungan yang sama.
Di daerah non-perkotaan, praktik perjodohan, pernikahan anak, dan poligami terkadang masih dipraktikkan dengan alasan bahwa hal tersebut diperbolehkan oleh hukum islam. Sebagai kelompok etnik terbesar keempat di Timur Tengah, hingga saat ini bangsa Kurdi tidak memiliki negara sendiri.
Bahasa Kurdi telah mengalami penolakan dan penindasan, sementara tanah Kurdi tidak memiliki perbatasan yang diakui secara internasional. Di berbagai negara, bangsa Kurdi terdesak untuk menjadi sasaran kebijakan asimilasi dan kekerasan yang menjadi dasar memori kolektif bangsa Kurdi.
Pada awal abad ke-20 pasca berakhirnya Perang Dunia I dan kekalahan kekhalifahan Turki Usmani, orang Kurdi mempertimbangkan pembentukan negara yang disebut sebagai 'Kurdistan' melalui Perjanjian Sevres.