Lihat ke Halaman Asli

Tinjauan Terhadap Makalah “Toward a Theory of Property Rights” Haroldd Demsetz (1967) dan HAKI di Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Fungsi dikembangkannya hak kepemilikan adalah untuk menjadi pemandu dalam sistim perekonomian agar individu/komunal/negara dapat mempunyai status hukum yang jelas yang diakui oleh berbagai pihak terhadap kekayaan yang ia miliki. Konsep kepemilikan pribadi ini adalah salah satu yang paling mendasar dalam teori ekonomi  liberal sebagai antithesis terhadap sistim kepemilikan pada Negara komunis yg meniadakan sistim kepemilikan pribadi/komunal. Kalau  pada sistim Komunis, hampir seluruh kekayaan sepenuhnya dikuasai oleh Negara, termasuk penguasaan atas tanah, dimana masyarakat, baik individu maupun komunal hanya berhak atas sewa/pemanfaatan lahan tersebut, dan sewaktu-waktu Negara mengambilnya, maka masyarakat harus memberikannya

Pada dasarnya secara garis besar, kepemilikan bisa dibagi kepada tiga jenis kepemilikan, yakni kepemilikan pribadi, kepemilikan komunal, dan kepemilikan Negara.Dalam makalahnya, Harold Demsetz juga menyinggung saat-saat ketika hak kepemilikan pribadi/komunal dapat saja diambil sewaktu-waktu ketika bertabrakan dengan kepentingan Negara yang lebih besar. Negara punya power untuk melakukan pencabutan tersebut, dikarenakan untuk sesuatu tujuan ‘welfare’ yang lebih besar kepada masyarakat luas

Pandangan ini sebenarnya juga telah diadopsi sepenuhnya oleh UUD 1945 khususnya pasal 33, dimana pada-pada sumber daya tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Contoh lain adalah ketika masyarakat harus mengalah ketika memberikan kepemilikan tanahnya untuk suatu pembangunan di daerah tersebut, seperti pembangunan jalan, terminal, pasar, dll

Selanjutnya pada sumber lain, disebutkan bahwa Karakteristik Hak Kepemilikan itu diantaranya (Tietenberg, 1992)  :

1.Eklusifitas, dimana pemanfaatan atas hak milik secara eklusif hanya jatuh kepada tangan pemiliknya

2.Transferability, yakni dimana seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan kepada dari satu pemilik kepada pemilik lain secara sukarela, baik hibah, jual beli, sewa, dll

3.Enforceability, yakni dimana hak kepemilikan dapat dihormati dan ditegakkan dan dijamin dari perampasan orang lain

Seseorang/sekelompok orang baru bisa dikatakan mempunyai sepenuhnya hak  property right jika mereka mempunyai kuasa terhadap tiga karakteristik diatas. Untuk menganalisis persoalan pembajakan hasil seni melalui VCD bajakan atau pembajakan karya intelektual berupa pembajakan buku, secara sederhana dapat kita jelaskan melalui karakteristik diatas, dimana pemilik hak patennya tidak lagi mempunyai ekslusifitas karyanya, tidak bisa menikmati pembayaran terhadap transaksi jual beli produk mereka di pasaran, serta tidak adanya penghormatan dan penegakan hukum yang jelas terhadap pembajakan hasil karya-karya mereka. Sesungguhnya pada kasus ini, Property Right mereka telah dirampas secara paksa oleh para pembajak, dan seringkali pemerintah terlihat tidak terlalu proaktif untuk menegakkan hukum kepemilikan ini.

Bahkan parahnya, menurut data yang dikeluarkan oleh PERC, Indonesia menempati peringkat pertama se-Asia sebagai Negara terburuk dalam perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Indonesia mendapatkan nilai terburuk dengan skor 8,5 dari maksimum 10 poin.
Poin terbaik untuk perlindungan hak atas kekayaan intelektual diraih Singapura dengan skor 1,5. Kemudian Jepang 2,1; Hong Kong 2,8; Taiwan 3,8; dan Korea Selatan (4,1). Di dasar daftar itu, Vietnam menempati posisi terburuk kedua dengan skor 8,4; China 7,9; Filipina 6,84; Thailand 6,17; dan Malaysia 5,8. (Data PERC Agustus 2010)

Parah memang, tapi inilah faktanya dimana Negara seolah-olah tidak berdaya terhadapa penegakan hak kepemilikan ini, yang secara otomatis juga akan mengakibatkan kelesuan perekonomian dalam memproduksi barangnya serta kemalasan para intelektual untuk menghasilkan karyanya. Entahlah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline