Lihat ke Halaman Asli

Paradoks

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Lalu, bagaimana kita berbicara tentang al-Qur’an sebagai firman Tuhan? Mereka yang menganggit Tuhan sebagai Dzat yang bersifat -yakni para pengikut Abu Musa al-Asy’ari, mungkin memiliki penjelasan panjang lebar tentang al-Qur’an, sebuah dokumentasi firman Tuhan yang berbahasa Arab, sekaligus penutur firman tersebut (Allah SWT), yang mereka katakan mustahil meniru-niru makhluk (mumatsalah li al-hawadits).

Diakui atau tidak poin penting dalam doktrin kalam Asy’ariyyah di atas seringkali luput dari, atau setidaknya kurang menarik, atensi kita. Padahal selama ini pemikiran Asy’ariyyah tentang sifat wajib bagi Allah, yang salah satunya adalah mukhalafah li al-hawadits (berbeda dari makhluk, kebalikan dari mumatsalah li al-hawadits) telah cukup akrab di telinga. Pada saat yang sama keyakinan kita bahwa kitab suci yang selama ini kita daras dan kita sakralkan adalah firman Tuhan yang otentik, valid, dan orsinil, yang sama persis dengan apa yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, telah paripurna.

Bagaimana kita merembugkan dua tesis yang bertolak-belakang ini? Di satu sisi kita yakin bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan, tapi di sisi lain kita pun percaya bahwa Tuhan mustahil berbicara seperti makhluk-Nya yang fana. Hemat saya, ini adalah paradoks. Namun sebagaimana banyak pemikiran paradoksal dalam doktrin agama, pembicaraan tentang hal ini lebih sering kita hindari ketimbang kita ungkit kembali. Allahu a’lam. []




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline