Saat ini kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sedang ramai dibicarakan yakni terkait berbagai isu pelarangan cadar bagi para mahasiswinya meskipun ini bukanlah hal pertama kali adanya pelarangan cadar di negeri ini yang mayoritas beragama Islam tapi phobia akan syariat Islam.
Hal tersebut masih ada sampai sekarang ini bisa kita telusuri di awal reformasi tatkala negeri ini baru merayakan kebebasan dari belenggu rezim tirani akan tetapi malah terdengar adanya pelarangan cadar terhadap dua mahasiswi kedokteran USU (Universitas Sumatera Utara) pada 30 November 1999.
Dua mahasiswi tersebut menerima surat resmi pelarangan cadar dikarenakan alasan bahwa cadar dapat menghalangi aktivitas belajar dan komunikasi dengan dosen. Begitupula pada tahun 2003 Summayah Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju (STIKIM) dikeluarkan oleh pihak kampus karena adanya pelarangan memakai cadar di kampus tersebut.
Juga tahun 2015 terjadi pelarangan cadar bagi mahasiswi di kampus Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Alasannya karena menganggu proses belajar mengajar bahkan bila masih mengotot disarankan untuk mencari perguruan tinggi lain. Di kampus Islam yang dinaungi langsung oleh Kementrian Agama sendiri Institut Agama Islam Negeri IAIN Jember pada tahun 2017 diberlakukan aturan larangan bercadar.
Alasannya, Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik IAIN Jember, Nur Salikin mengatakan bahwa cadar dinilai tidak mencerminkan Islam yang ramah dan menyejukan. Dan yang terbaru adalah pelarangan cadar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (meskipun keputusan terakhir diperbolehkannya mahasiswi untuk menggunakan cadar di kampus tersebut).
Berawal dari pelarangan tersebut banyak komentar-komentar yang memojokkan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai instansi yang mengeluarkan aturan tersebut dan tidak sedikit yang mencemooh tanpa memberikan solusi terkait permasalahkan tersebut bahkan ada yang menantang untuk menyuarakan agar para siswa/siswi untuk tidak masuk di kampus-kampus dibawah Departemen Agama seperti STAIN, IAIN, dan terkhusus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Terkait polemik ini saya teringat sore itu saya menyodorkan sebuah buku lama yang lumayan berukuran besar yang berjudul "Ada Pemurtadan di IAIN" karya Hartono Ahmad Jaiz kepada salah satu dosen di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat itu saya bertanya "Maaf Pak apakah benar apa yang ditulis dibuku ini? Lalu dengan santai serta tertawa ringan beliau menjawab "Iya benar mas" lalu beliau melanjutkan.
"Mas buku itu dulu sempat booming dan pernah dibedah di sini juga (UIN) bahkan tokoh-tokoh yang dimaksud (l iberal) disitu juga datang menghadiri langsung bahkan pak Rektor saat itu juga sempat dituding-tuding diruangan tersebut tapi toh semua menanggapi dengan santai dan tersenyum karena inilah dunia akademisi siapapun boleh melontarkan pendapat suka maupun yang tidak suka.
Kembali saya mulai terdiam lalu beliau melanjutkan "Jujur saya tidak mau menutupi ada tidaknya dosen maupun oknum yang dianggap liberal sebagaimana yang tertulis dalam buku tersebut tetapi ada suatu catatan buat kita, saya dan njenengan, kampus megah ini adalah perguruan tinggi milik umat (Islam) bila tidak suka jangan langsung kita menutupnya.
Misal bila gara-gara ada oknum dosen dikampus Islam yang terindikasi berpaham liberal langsung kita tutup kampusnya, apa anda rela bila anak-anak generasi muslim mereka kelak bersekolah dikampus-kampus non muslim atau dikampus liberal sekuler?
Sambil terbata-bata beliau melanjutkan "Mas perguruan tinggi ini adalah asset umat Islam, yang dibangun atas inisiatif dan semangat para tokoh-tokoh agama, kyai, ulama yang menginginkan agar umat Islam Indonesia memiliki kampus Islam disamping kampus Nasionalis Sekuler yang lebih dahulu berdiri."