Lihat ke Halaman Asli

Firda Shafira Ageng Permanti

S1 Psikologi Universitas Airlangga

Berpikir Positif Tidak Selalu Baik: Toxic Positivity

Diperbarui: 8 Juni 2024   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pernahkah kalian mendengar kalimat seperti, "Kamu tidak boleh gagal!" "Kalau orang lain bisa, kamu juga bisa," atau "Jangan sedih/menangis" atau kalian merupakan salah satu orang yang pernah mengucapkan kalimat tersebut? Kalimat-kalimat ini mungkin diutarakan untuk memberikan semangat, tetapi tanpa disadari sebenarnya kalimat-kalimat tersebut termasuk dalam tindakan toxic positivity.

Apa sih yang dimaksud dengan toxic positivity? Dilansir dari laman siloamhospitals.com, toxic positivity adalah perilaku yang menuntut diri sendiri maupun orang lain untuk selalu memiliki pikiran positif dan menolak atau mengabaikan segala jenis emosi negatif atau pengalaman kurang menyenangkan. Toxic positivity terkesan memaksa seseorang untuk selalu optimis dan meremehkan apa yang seseorang telah alami. Optimisme tersebut justru mungkin dapat menjadi sumber stres tambahan karena individu merasa adanya tekanan terhadap dirinya untuk selalu positif dan bisa melakukan sesuatu secara sempurna. Terkadang, perlu untuk memberikan validasi atas perasaan dan pengalaman kurang menyenangkan. Dengan begitu, kita atau orang lain tidak akan merasa terisolasi dan stres karena berpura-pura dalam kondisi yang baik-baik saja.

Bukan berarti menjadi positif dalam kondisi yang kurang baik merupakan hal yang salah, tetapi kebanyakan orang bukannya berdamai dengan kondisi tersebut, melainkan menyangkalnya, dalam arti lain kondisi tersebut dianggap tidak pernah ada. Sikap inilah yang dianggap sebagai tindakan yang toxic atau beracun. Menurut salah satu tokoh psikologi, Sigmund Freud, setiap ingatan manusia akan terisimpan di dalam alam bawah sadar. Hal ini menjelaskan bahwa sikap mengabaikan perasaan negatif dapat menyebabkan kondisi emosional yang buruk. Segala ingatan yang tersimpan di alam bawah sadar mungkin saja muncul ke permukaan apabila terdapat peristiwa yang memicu ingatan/emosi negatif yang terpendam dan berpotensi meledak serta destruktif, baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Toxic positivity yang dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan rendah diri, stres, depresi, gangguan cemas, dan gangguan psikologis lainnya. Oleh karena itu, untuk mencegah hal-hal tersebut terjadi, kita perlu untuk belajar mencegah atau merubah pola pikir toxic positivity ini. Namun, Bagaimana, sih cara menghindari pola pikir toxic positivity ini?

Berikut merupakan beberapa cara efektif menghindari pola pikir toxic positivity menurut penulis yang diadaptasi oleh penulis dari berbagai sumber.

Cara Menghindari Toxic Positivity

  • Mengakui dan Memproses Emosi dengan Sehat

Dalam kehidupan sehari-hari, emosi negatif merupakan hal yang normal. Kita perlu untuk mengakui emosi ini sebagai bagian dari diri manusia dan memprosesnya secara sehat seperti, mengungkapnya dengan menulis jurnal/buku diary atau berdiskusi dengan orang yang dipercaya dapat memberikan saran dan tidak menghakimi perasaan kita. Dengan begitu, emosi negatif akan berangsur membaik secara perlahan.

  • Mendengarkan Tanpa Menghakimi

Apabila mendengar cerita atau keluhan dari teman, penting untuk kita menyimak ceritanya dengan baik dan tidak langsung menghakimi perasaannya atau bahkan membandingkannya dengan diri sendiri. Sekecil apapun masalah yang dihadapi oleh orang lain, perasaan yang mereka rasakan tetaplah valid.

  • Menerima Diri

Manusia tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Di dunia ini mustahil ada manusia yang sempurna tanpa cacat sedikitpun. Penting untuk kita menerima segala kekurangan yang kita miliki. Kekurangan kita merupakan bagian dari diri kita juga. Berhentilah untuk selalu ingin tampil sempurna di depan orang lain, terlebih sampai menyalahkan diri sendiri apabila melakukan kesalahan.

Fenomena toxic positivity mungkin awalnya bertujuan untuk mendukung orang lain atau diri sendiri, tetapi tanpa disadari dukungan tersebut tersampaikan dengan cara yang salah. Dengan memahami bahaya dan cara menghindarinya, kita dapat meninggalkan pola pikir toxic positivity dan mulai menerima dan berempati terhadap emosi-emosi yang dirasakan oleh diri sendiri maupun orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline