"Rani! Jangan bicara sendiri selama jam pelajaran!"
Kepalaku mendongak gugup ketika Bu Yuli menegurku dan segala penjuru mata tertuju kepadaku. Mengapa penghapusku harus jatuh saat Bu Yuli tengah menerangkan pelajaran Bahasa Indonesia, sih! Lebih aneh lagi penghapus itu seakan-akan menghilang ketika berusaha ku cari! Jelas-jelas aku melihatnya terjatuh tapi aku hanya melihat kaki-kaki meja, kaki-kaki kursi dan kaki teman semejaku.
"Rani! Apa kau dengar?"
"Iya bu, ma-maaf!"
Bagiku, ditegur secara memalukan seperti ini di kelas bagai pukulan besar. Aku juga merasa perlakuan Bu Yuli itu tidak adil padahal aku hanya ingin mencari penghapus yang terjatuh dan melakukannya tanpa suara atau tanpa meminta bantuan pada Laila, teman sebangkuku. Aku hanya mampu menundukkan kepala tanpa mengeluh lagi karena takut akan menimbulkan keributan, tapi aku juga menahan air mataku karena sangat kesal. Aku berpikir ingin menghampiri Bu Yuli saat jam istirahat tiba dan menjelaskan kejadian sebenarnya, tetapi lagi-lagi nyaliku ciut saat ingin melakukannya. Konyol sekali kalau ada seorang anak perempuan kelas 4 SD mengadu kepada gurunya perkara penghapusnya hilang.
Aku tidak menyangka Bu Yuli yang kusukai baru saja menegurku dengan nada tinggi. Rambutnya pendek bergelombang anggun. Dia mengenakan blus biru dengan bros pita ungu kecil menggantung di sakunya, membuatnya makin terlihat cantik mempesona. Aroma parfumnya juga menarik perhatian anak-anak di kelas sehingga ketika sosoknya melewati kita, baunya masih tercium di hidung meskipun bayangan Bu Yuli melengang jauh. Saat menulis di papan dan mulai menerangkan pelajaran suaranya amat sopan mengetuk gendang telingaku, terdengar lembut dan hangat. Itu sebabnya, aku ingin terlihat baik; menjadi anak baik di mata Bu Yuli. Namun, suaranya yang mendadak keras hari ini telah menyambar hatiku.
Keesokan harinya, ketika sedang berjalan sendirian di selasar aku melihat Bu Yuli juga sedang berjalan ke arahku sambil menenteng tasnya. Sepertinya ia akan mengajar di kelas sebelah. Sungguh, aku menjadi salah tingkah. Setengah berlari aku menghindarinya dengan hati-hati berharap ia tidak menyapaku karena aku sedang buru-buru ke kelas.
"Halo Rani! Selamat pagi!'
Kudengar suaranya ramah memanggil namaku tapi aku terlalu takut sekadar menatap matanya. Segera hilang bayangku di balik pintu kelas. Aku tidak berani menoleh ke belakang. Ah, rasanya lega bercampur rasa bersalah karena tidak mengacuhkan sapaan guru, kupikir-pikir tingkah lakuku sangat tidak sopan. Jika Bu Yuli sudah lupa tentang kejadian kemarin mengapa aku terus mengingatnya?
Tunggu, mengapa Bu Yuli lupa secepat itu? Bu Yuli, aku masih terluka mengingat kau menegurku di depan kelas kemarin. Aku belum lupa rasanya. Pokoknya, jika ia berkata begitu, itu pasti benar. Aku ingin bertanya kepadanya tapi tak bisa. Itu karena telah terjadi kesalahpahaman di antara kami meskipun hanya aku yang menyimpannya sendiri.
Ternyata di zaman ini, guru-guru pun masih menyakiti hati murid-murid dengan nada-nada emosional. Tentu aku juga tahu ada lebih banyak guru yang memberikan kasih sayang dan kebaikannya agar momen kecewa dan tidak adil akan menjadi kenangan khusus di mataku. Sayang sekali, di mataku Bu Yuli telah menjadi bagian dari guru-guru yang menyakiti hati murid dengan nada emosional. Dia bukan Bu Yuli yang ku sukai.