Peneliti, tidak terlepas dari sebuah Instansi Penelitian, Instansi Penelitian disetiap lembaga pemerintahan menginduk pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), baik tingkat Kementerian/Lembaga Non Kementerian, maupun di Badan Penelitian dan Daerah-Daerah. Menurut data LIPI, tercatat ada sebanyak 9.556 orang Peneliti di Indonesia, Dengan terbanyak ada di Kementerian Pertanian (1.850 orang), dan paling sedikit Badan Narkotika Nasional (2 orang). Kominfo sendiri, memiliki 151 orang Peneliti, saya satu diantaranya.
Peneliti di setiap instansi (kecuali LIPI, dan mungkin juga Litbang Kementerian Pertanian) menjadi banci, karena harus mengikuti tata kelola pemerintahan struktural, bukan fungsional. Jadi seluruh Instansi yang menaungi peneliti tidak lebih mengedepankan peneliti dan hasil penelitian, tetapi proses dari penelitian itu.
Misal, seorang Kepala Lembaga Litbang, dinilai kinerjanya dengan seberapa besar persentasi penyerapan anggaran (dan seberapa cepat) dalam menghabiskan dana penelitian, apapun hasilnya. Bukan seberapa nilai hasil yang didapat dari dana penelitian yang besar itu, (Terpublikasi secara internasional, atau nasional, atau diseminarkan dalam pertemuan ilmiah internasional/nasional/lokal).
Peneliti tidak didorong kearah sana, sementara itu peneliti di lembaga penelitian menjadi masyarakat kasta Syudra, selalu diperas dengan hasil penelitian yang cepat, tanpa adanya penghargaan yang setimpal. Sementara yang lainnya memiliki kasta yang lebih tinggi.
Disisi lain, peneliti terus menerus dikejar oleh karir yang mengharuskan peneliti paling tidak dalam 5 tahun naik ke jenjang yang lebih tinggi. Tentunya diperlukan angka kredit, yang semakin tinggi semakin banyak. Disisi lain, peneliti dengan tidak adanya dorongan dari instansi melakukan Onani dengan melakukan penelitian yang lebih mandiri, tanpa embel-embel instansi, bahkan tanpa dana dari Instansi tempat peneliti mengabdi.
Hasil penelitian tersebut lalu di publikasi, dan mendapatkan uang yang menikmati hanya peneliti untuk diri sendiri, ya ini yang dinamakan Onani. Peneliti dan Instansi, tidak lepas antara satu dengan yang lain, seperti layaknya suami dan istri dalam sebuah rumah tangga. Peneliti adalah suami (kebetulan saya juga seorang suami), dan Instansi adalah seorang istri, tenaga administrasi, ya pembantu dalam menjalankan seluruh pekerjaan suami maupun istri. Istri selayaknya harus dapat memenuhi kebutuhan Suami mulai dari Sumur (Penggajian), Dapur (Pengembangan/Peningkatan Ilmu Pengetahuan), dan tentunya Kasur (Penelitian). Jika tidak dipenuhi, banyak peneliti (suami) yang melakukan Onani, atau bahkan beberapa peneliti selingkuh dengan wanita (instansi lain) demi memenuhi ‘hasrat’ tersebut.
Peneliti juga didorong untuk mempublikasikan hasil karyanya, sebagai tanda "betapa maju negara kita", tetapi dorongan tersebut seperti mendorong kereta yang tidak memiliki roda, berat, susah, dan lain sebagainya..
Teringat beberapa bulan lalu, melalui sebuah acara Gathering Peneliti, seorang narasumber mengecam peneliti yang melakukan Onani. Narasumber tersebut dari LIPI, yang berbeda perlakukan penelitinya dengan peneliti selain LIPI. Sebaliknya, peneliti dengna tidak disupport oleh instansi, mau tidak mau melakukan Onani.
Salam Onani, eh Peneliti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H