SEJARAH TONGKAT ESTAFET MU'TAZILAH KE ASY'ARIYAH
Munculnya Asy'Ariyah sebagai sebuah aliran Kalam dijelaskan dalam beberapa teori,berikut beberapa teorinya:
Pertama,kehancuran aliran mu'tazilah akibat pemaksaan paham keagamaannya terhadap masyarakat. Pada masanya aliran Mu'tazilah berkembang dengan cepat. Banyak penduduk yang menjadi pengikut aliran kalam yang dibangun oleh Wasil bin Atha. Kaum Mu'tazilah perlahan-lahan mendapat tempat dihati masyarakat islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya ketika para Khalifah Dinasti Abbasiyah mengakui aliran Mu'tazilah dan menjadikannya sebagai mazhab yang dianut oleh negara. Salah satu prinsip dasar mazhab Mu'tazilah yaitu amar Ma'ruf Nahy Munkar mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kaum Mu'tazilah juga memiliki paham yaitu paham Al-Qur'an sebagai tidak Qadim. Bagi kaum Mu'tazilah paham sebaliknya yaitu paham Al-Qur'an sebagai Qadim memaksa adanya yang Qadim disamping Tuhan, dalam hal ini berarti menduakan Tuhan. Perbuatan semacam ini adalah perbuatan syirik yang dinilai sebagai dosa besar dan tidak dapat diampuni Tuhan. Bagi Khalifah Al Ma'mun(Khalifah yang menjabat pada masa itu) orang yang mempunyai paham syirik tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan.Oleh karenanya khalifah mengistruksikan kepada para gubernurnya untuk mengada ujian terhadap para pejabat,para hakim,dan pemuka-pemuka agama yang berpengaruh dimasyarakat. Dari sinilah timbul apa yang disebut dengan Mihnah,yang dalam sejarah islam dikategorikan sebagai fitnah kedua(setelah fitnah pertama dalam perang Jamal dan Siffin). Diantara orang-orang yang diuji terdapat pemuka agama yang sangat popular, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh . Tetapi kedua tokoh ini tidak mau menerima paham Mu'tazila dan menyatakan pendapat kebalikannya yaitu Al-Qur'an sebagai Qadim. Setelah meninggalnya khalifah Al Ma'mun digantikan oleh khalifah al-Mutawwakil. Selama pemerintahannya fitnah akibat paham ini semakin dahsyat, maka akhirnya khalifah Al Mutawwakil membatalkan pemakaian aliran Mu'tazilah sebagai mazhab Negara. Sejak itu, mulailah pengaruh Mu'tazilah menurun dan ditinggalkan oleh pengikutnya (Burhanuddin, 2016:113)
Kedua,kaum Mu'tazilah (yang mulai redup dan ditinggalkan oleh pengikutnya) juga tidak banyak berpegang teguh pada Al-Sunnah atau Al-Hadits. Mereka bukan tidak percaya pada hadis Nabi dan kata-kata para sahabat tetapi mereka ragu akan keaslian sunnah, sehingga mereka dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah. Kelemahan Mu'tazilah pada sisi ini dimanfaatkan oleh kalangan Asy'Ariyah dengan terang-terangan mengusung sunnah dan tradisi para sahabat.
Ketiga,bahwa Imam Abu Hasan Al-Asy'ari sebagai penganut mazhab Mu'tazilah pada akhirnya meninggalkan ajaran Mu'tazilah yang telah dianutnya selama puluhan tahun dan mendirikan aliran baru yang dinisbatkan dengan namanya yaitu Al Asy'ariyah. Menurut Al Subki dan Ibn Asakir, Al Asy'ari mengaku pada suatu malam bermimpi Rasulullah SAW datang menghampirinya seraya memerintahkan agar dia meninggalkan paham Mu'tazilah karena paham Mu'tazilah tidak berpegang teguh pada Al-Hadits yang sudah jelas kebenarannya. Karena hal ini pula paham Mu'tazilah semakin ditinggalkan oleh pengikutnya dan memberi peluang yang sangat besar bagi mazhab Al Asy'Ariyah untuk diterima dikalangan masyarakat.
Keempat, sebab lain yang menaikkan popularitas Al Asy'Ariyah adalah terjadinya perdebatan antara Al Asy'ari dengan gurunya Abu Ali al-Jubbai mengenai konsep Al-Shalah wa Al-Ashlah, yaitu hubungannya dengan nasib seorang dewasa mukmin, dewasa kafir, dan anak kecil di akhirat kelak. Dalam perdebatan antara guru dengan muridnya ini, sang guru tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan sang murid.
Selain beberapa teori diatas, juga terdapat analisis yang menyatakan bahwa pada diri Al Asyari memang telah muncul keraguan terhadap ajaran-ajaran Mu'tazilah yang selama ini dianutnya. Dia memutuskan untuk hidup menyendiri selama 15 hari untuk merenungkan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Setelah menghabiskan masa renungannya akhirnya Al Asy'ari memutuskan untuk meninggalkan atau keluar dari paham Mu'tazilah tersebut. Perasaan ragu yang selama ini muncul dalam diri Al-Asy'ari yang pada akhirnya membuat beliau sadar dan meninggalkan paham Mu'tazilah yang dianutnya dahulu. Sebenarnya Al Asy'ari adalah penganut mazhab fiqih Syafi'iah. Imam Al Syafi'I mempunyai pendapat kalam yang berbeda bahkan bertolak belakang dengan pendapat -pendapat Mu'tazilah. Setelah meninggalkan Mu'tazilah, Al Asy'ari menganut paham yang baru yaitu Asy Ariyah yang berpegang teguh pada As-Sunnah atau Al-Hadits.Dalam hal ini Al Asy'ari sangat berjasa telah memberikan sistem pemikiran kalam yang dapat di terima oleh mayoritas umat islam. Lebih dari itu Al Asy'ari telah berjasa membuat ilmu kalam menjadi halal dan dapat diterima secara luas di dunia islam, yang sebelumnya sangat dicurigai bahkan di pandang bid'ah dan sesat serta di haramkan. Dengan demikian aliran Asy Ariyah segera berkembang dan yang terbesar di dunia islam. Aliran ini kemudian lebih dikenal dengan julukan Ahl Al Sunnah wa Al Jama'ah.(Jamrah, 2015:148)
Banyak tokoh pemikir islam yang mendukung pemikiran Al Asyari, salah satunya yang terkenal adalah "Sang Hujatul Islam" Imam Al Ghazali. Paham Al Asyariyah juga dipadukan dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al Maturidi. Adapun tokoh-tokoh pengikut paham Al-Asy'ariyah yang cukup popular yaitu Muhammad ibn Al-Thoyyib ibn Muhammad Abu Bakar Al-Bakillani, Al Juani, dan Al Sanusi.(Abdul dan Anwar, 2012:122)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H