Lihat ke Halaman Asli

Ilma Amalia

Human Resource Development

Menjalani “Hukum” Sosial di Indonesia

Diperbarui: 24 Agustus 2016   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk ke empat terbanyak di dunia setelah Cina, India dan Amerika tentu memiliki keberagaman sosial yang sangat tinggi. Plural di bidang agama, budaya hingga adat istiadat tentu menjadikan Indonesia memiliki resiko yang besar untuk menjadi negara berkonflik. Tapi di sisi keberagaman itu ada sisi dimana Indonesia sangat kompak menyatukan suara.  Apalagi dengan canggihnya teknologi sekarang.

Sebutlah kasus beberapa waktu yang lalu, dimana seorang mahasiswa aktivis dari sebuah kampus di Jakarta diberhentikan secara sepihak oleh rektor yang tiba tiba mencuat ke masyarakat.

Para mahasiswa setempat bergerak cepat, membeberkan kronologi dengan segala kondisinya di media sosial. Tidak lama, hanya beberapa jam berita itu diposting, hampir semua kalangan mahasiswa dari berbagai universitas merasa “terpanggil” dan mulai satu suara mendukung mahasiswa aktivis tersebut bahkan menyalahkan sang rektor. Bahkan sebagian pendukung bukanlah dari kalangan mahasiswa.

 Diakui kasus ini memang tidak sebesar awal reformasi dimana empat orang mahasiswa wafat dan mampu meruntuhkan suatu rezim kepemimpinan. Tapi keduanya berada dalam konteks yang sama, hanya beda skala. Kuatnya opini di masyarakat membuat rektor menarik keputusannya untuk memberhentikan mahasiswa tersebut dalam waktu semalam walaupun dengan syarat.

Belum lagi kasus yang mencoreng pendidikan di Indonesia seperti pencubitan seorang siswa, yang membuat sang guru dilaporkan ke polisi. Kasus yang sempat memenjarakan seorang guru tersebut, membuat siswa sebagai pelapor sempat tidak diterima sekolah manapun. Opini masyarakat mengarah ke hal yang sama walaupun ada saja pihak pihak minoritas yang tidak terlalu mau tau, enggan berkomentar atau malah turut menyalahkan sang guru.

Bahkan lucunya orang Indonesia sempat salah bully pelaku pengeroyokan terhadap gurunya sendiri. Ya, kompak. Satu memulai, semua bergerak. Saking kompaknya, sama sama salah bully.

tangkapan-layar-2016-08-16-13-51-15-57bda552a7afbdf608cb156c.png

tangkapan-layar-2016-08-16-13-50-47-57bda56a979373993b1248ef.png

Kesamaan dari ketiga kasus tersebut adalah ada yang menjadi korban dan masyarakat mudah berempati. Tidak peduli darimana, budaya apa, dan kalangan mana saja yang ikut memberikan suaranya. Bahkan tidak tanggung-tanggung orang Indonesia juga yang memberikan hukum sosial pada “tersangka”. Pengadilan di timbang oleh masing-masing orang yang masih peduli.

Memang ada sisi baik dan buruk dalam sistem penghukuman ini. Sisi buruknya adalah bisa jadi opini masyarakat diarahkan ke orang yang tidak bersalah oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Namun sisi baiknya ditinjau dari suatu teori psikologi menjelaskan saat hukum pidana tidak berlaku maka hukuman sosial inilah yang akan diterima oleh pelaku kejahatan.

Inilah Indonesia dalam hal menghakimi dan menghukum secara sosial pelaku kejahatan. Selama masih ada picu yang membuat empati, masyarakat mudah sekali bersatu. Bahkan menghukum pelaku tanpa ruang sidang, dengan masyarakat luas sebagai hakimnya.

Hati hati di Indonesia! Bisa jadi anda salah satu yang menjalani hukum sosial disini :D




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline