Semesta takkan pernah menjawab pertanyaannya. Baginya semesta merupakan lambang kebodohan. Aku dianggapnya sedikit lebih cerdas ketimbang semesta. Ia memberikan pertanyaan pada semesta tentang keberadaan orang-orang marginal. Baginya semesta tak akan mampu menjawab tanya dari dia.
"Selama orang-orang miskin, anak terlantar, orang-orang cacat masih tampak di mataku, aku menafikan keberadaan semesta," kalimat yang sering kali diucapnya.
Aku selalu bersamanya. Dirinya merupakan sosok yang sangat berbakat dalam hal-hal filosofis. Tingkahnya tak mudah ditebak. Terkadang, setiap pagi aku berjalan sendiri mencarinya. Ternyata tanpa sepengetahuanku, ia sudah berada di belakangku. Dia selalu memberikan pertolongan pada orang-orang susah. Aku tertarik padanya, aku memutuskan menjadi muridnya.
Tapi itulah dia. Dia tak menganggapku murid melainkan temannya. Kehidupan asmaranya juga sangat sulit kutebak. Terkadang, pada lawan jenis yang bagiku cukup menarik, tapi dia tak memperhatikan. Namun, dia sangat mencintai Lily. Perempuan buta penjual bunga kertas di sudut pasar kota.
Angelica, perempuan sempurna dengan kebaikan hati dan ketulusannya. Entah kenapa tak mengena dihatinya. Kami sering berjalan berdua, menyusuri jalanan kota. Hanya untuk membantu setiap orang-orang susah di kota itu.
Tiap pagi dan petang, dia selalu memberi Lily sebungkus makanan. Kesempatan itulah ia kerap menggenggam tangan Lily. Namun, ia tak pernah mengeluarkan sepatah katapun kepada Lily. Pernah aku ingin mengatakan sesuatu pada Lily, namun dia mengisyaratkan "jangan" kepadaku.
"Kau senang dengan perempuan buta penjual bunga itu Jack?"
"Ya,"
"Lalu, kenapa kau hanya diam. Sepertinya dia juga ingin mengetahui tentangmu Jack,"
"Belum saatnya Dave," jawab Jack.
"Apakah kau sudah tahu banyak tentang perempuan itu Jack?"