[caption caption="ilustrasi (www.emaze.com)"][/caption]
"Memutuskan dan mengadili terdakwa dengan hukuman, hukuman mati dan membebankan biaya perkara sebesar lima ribu rupiah," kata hakim dilanjutkan dengan ketukan palu sebanyak tiga kali. Suasana di ruang persidangan heboh. Keluarga terdakwa menangis. Aktifis anti narkoba bertepuk tangan. Aktifis Hak Azasi Manusia mengejar hakim mempertanyakan tentang hukuman mati.
Seorang gembong narkoba baru saja divonis hukuman mati. Pengacara bersiap memberkaskan pengajuan banding yang diberi waktu 7 hari oleh hakim. Budi sang gembong meratapi kejadian itu. Memeluk erat istrinya. Melobi aparat untuk menambah waktu. Enam bulan sudah paska penangkapannya. Inilah keputusannya. Dipanggil lima pengacaranya.
"Terima saja keputusan itu. Jangan lagi banding," katanya. Langsung para wartawan mempertanyakan sikapnya yang tak melakukan upaya hukum banding.
"Saya sudah mengakui kesalahan, saya sudah siap mempertanggungjawabkan dosa ini di dunia," lantang dia pada para wartawan. Oleh karena itu secara lisan ia resmi menjadi narapidana.Meski vonis hakim belum dikeluarkan saat itu juga. Dibawa ia kembali ke Lembaga Pemasyarakatan. Sidang di pagi hari, keluarga masih boleh membesuknya di dalam lembaga.
***
Dikawal Sipir, ditengah pengunjung yang ramai berdua dia memadu kasih bersama istrinya yang sangat setia.
"Kenapa kau tidak mengupayakan banding. Apakah kau tak lagi merinduku, merindu kebersamaan kita?" istrinya berkata penuh harap.
"Kemungkinan itu masih ada, kenapa kita tak mengusahakannya," keluh istrinya lagi.
"Dinda, tidakkah engkau tahu
Berapa banyak kerinduan yang telah kubuat. Aku sudah membuat banyak kerinduan. Kerinduanmu hanyalah satu dari jutaan kerinduan lainnya," kata gembong itu.
"Maksud kanda?"
"Kujual barang haram, banyak mereka yang mati overdosis, banyak mereka meninggalkan keluarga, banyak mereka yang masuk penjara. Itu ulahku, ya aku. Aku pengedar terbesar di negeri ini. Aku menguasai pasar obat-obat haram itu,"