Ada rasa yang tak bisa dijelaskan begitu berkumpul dengan orang-orang tua. Entah kenapa keingin tahuan mereka terlalu banyak dan tak beralasan. Bahkan mereka mengorek sesuatu yang tidak terlalu penting untuk peribadi mereka. Kadang mereka seperti tidak mengerti tentang hal sensitif yang seharusnya tak boleh mereka usik. Wajah kampung yang polos membuat keingin tahuan mereka sama polosnya tentang sesuatu. Itu kenapa aku tidak suka berkumpul dengan kumpulan orang-orang tua, mereka begitu mengusik dan berisik. Meski banyak yang tidak seperti itu. Nek Surah, Bu Surtini, Bu Rian misalnya. Mereka orang-orang asik diusia yang tak muda lagi untuk diajak ngobrol. Mereka tahu bagaimana cara menasihati, bertanya, atau beropini dengan santun. Beda halnya dengan teman-teman ibu. Celoteh mereka yang berujung gosip dan sesat membuatku malas dan lebih memilih tidur dari pada menyapa mereka.
Ibuku bukanlah seorang terpelajar yang memiliki segudang gelar untuk menggenapkan namanya. Hanya perempuan biasa tamatan SMA yang kini menjabat sebagai entah. Ibuku, ibu kampung seperti ibu-ibu kebanyakan. Tapi ibuku memberi banyak perubahan untuk kampung tempat dimana kami tinggal. Ibuku hanya pintar membaca dan membuat aneka kue. Dengan bekal itu ia berhasil memerangi buta aksara dan pengangguran di kampung kami. Lebihnya ibu perempuan kampung yang sangat jujur dan selalu berpihak pada masyarakatnya. Hidup sederhana dan apa adanya. Ibu juga bukanlah perempuan muluk yang hoby bersolek, mandi setiap pagi membuatnya sudah nampak cantik dan awet muda.
Tiba pada suatu pagi ibu kehilangan pita suaranya dan orang-orang mulai beramai-ramai ke rumahku untuk melampiaskan keingin tahuan mereka. Ada seorang tuan tanah yang tentu merasa senang sekali dengan kejadian itu. Karena ibulah kini orang-orang sudah mandiri dan tak menggantungkan nasib sebagai buruh di sawah tuan tanah tersebut. Tapi ibu, pita suaranya tiba-tiba hilang dan menimbulkan benjolan besar di lehernya. Serupa anak tuyul yang numpang tidur di sana. Dan asal kau tahu hubungan ibu dan tuan tanah itu menjadi akrab yang awalnya ibu mengaku alergi berurusan dengannya. Kini cerita ibu tersebar di seluruh kampung dan orang-orang menyebutnya si gagu berleher gajah. Bahkan orang-orang sudah tahu ibu tak lagi makan nasi uduk Rp. 5000an atau ubi layaknya orang kampung. Selera ibu berubah sejak lehernya berubah gajah. Ia mulai hobi keluar masuk kafe dengan memesan aneka makanan ala-ala bule.
Aku bisa melihat dari sorot mata ibu yang tak lagi teduh, peluang untuk menjadi pendosa sama kuatnya dengan niat baik yang ia pegang teguh sejak lama. Dari mata ibu juga aku bisa membaca bahwa perilaku buruk sangat cepat menular. Dan dugaanku kali ini benar. Ibu terpeleset oleh teman-temannya yang banyak omong itu. Perempua-perempuan tua dengan lipstick merah menyala, eye liner blepotan dan aplikasi blush on yang semakin mempertegas bahwa sekumpulan badut sedang melancarkan pertunjukan akrobatiknya. Aku sedikit mendengar perbincangan mereka di ruang tengah. Waktu itu mereka membawa racun untuk ibu. “Susan nikmati masa jayamu saat ini, menjadi nomor satu di kampung ini mungkin tidak terjadi dua kali” kata temannya. Disusul dengan argumen temannya yang lain “ aku baru 100 hari menjabat sebagai hmmm aku berusaha memberikan yang terbaik untuk masyarakatku namun tetap saja aku dimusuhi” Sesaat ruang tengah hening dan seorang lagi kembali angkat bicara “Susan kini aku memilih bermain cantik yang suatu saat akan dimusuhi juga. Tapi tak masalah toh aku sudah nikmati, daripada kamu baik. Tapi sebentar lagi pasti dicap juga buruk” suasana ruang tengah sepi. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir ibu, ibu memilih diam, tak berkata apa-apa. Dan setelah mereka pulang beberapa hari setelahnya ibu menjelma si gagu berleher gajah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H