Nuh bin Maryam berasal dari Kota Marwu, salah satu negara di Persia. Beliau seorang qodhi sekaligus bangsawan kaya raya. Selain terpandang karena kedudukan dan hartanya, ia juga memiliki putri yang terkenal cantik dan taat beribadah. Tidak terhitung sudah berapa banyak laki-laki datang untuk meminang, baik dari kalangan konglomerat, pengusaha dan tokoh pemuka namun semuanya tidak ada yang diiyakan.
Melihat sikap putrinya tersebut Nuh bin Maryam terdiam saja. Karena baginya urusan menikah dengan siapa adalah pilihan sang putri. Ketika Nuh bin Maryam bertanya tentang kriteria suami yang diinginkan, maka putrinya mengatakan, "Aku berharap laki-laki yang menikahiku bukan atas dasar elok rupa, harta berlimpah dan kedudukan terpandang wahai ayah!. Aku menginginkan suami yang baik agama dan bagus perangainya".
Hingga suatu hari, terjadi sebuah kisah antara Nuh Bin Maryan dan Mubarok. Mubarok adalah budaknya yang bertahun-tahun bertugas sebagai penjaga kebun. Suatu ketika Nuh bin Maryam datang ke kebun dan minta diambilkan anggur yang manis. Mubarak-pun mengambilkan segenggam anggur dan memberikan kepadanya. Ketika mencicipi sang majikan berkata dengan kecewa, "Ini rasanya asam wahai Mubarok, sana carikan lagi untuk ku yang manis!".
Mubarok pun mengambilkan yang ke-2, kembali sang majikan berkata, "Ini juga masam, sana pergi ambilkan lagi aku minta padamu buah yang manis.!" Maka Mubarak mengambilkan yang ketiga. Lagi-lagi wajah majikan cemberut menandakan kecewa dengan mengulang perkataan sama, "Ini asam Mubarak, aku menginginkan yang manis!"
Akhirnya Mubarak melontarkan jawaban, "Aku tidak mengerti mana buah manis itu!", dengan heran Nuh bin Maryam bertanya, "Apakah kamu tidak bisa membedakan buah yang manis dan masam?". "Saya tidak dapat membedakannya tuan, karena saya tidak pernah mencicipinya." tutur Mubarak.
Tatkala mendengar jawaban tersebut, sang tuan menimpali dengan pertanyaan, "Kamu tidak pernah mencicipinya? Sedangkan aku menugaskanmu untuk menjaga kebun ini selama bertahun-tahun".
Kemudian Mubarak menjawab dengan tenang, "Iya tuan, engkau menugaskanku menjaga, bukan untuk mencicipi. Karena itu aku tidak berani meski hanya satu anggur." Mendengar jawaban Mubarak, Nuh bin Maryam tidak jadi marah, ia begitu kagum dengan kejujurannya. Belum pernah Nuh bin Maryam dapati sosok budak yang mampu berpegang teguh dengan amanah.
Setelah peristiwa singkat itu, Nuh bin Maryam menawarkan putrinya kepada Mubarak. Singkat cerita keduanya melangsungkan pernikahan dengan bahagia, dan seiring berjalannya waktu pasangan ini dikarunia putra yang diberi nama Abdullah.
Abdullah bin Mubarak inilah yang kelak menjadi ulama besar dan rujukan fatwa di zamannya. Abdullah juga dikagumi karena semangat ibadah, jihad dan zuhudnya terhadap dunia. Dari kisah di atas, maka berkat kejujuran Mubarak inilah mendapatkan kebaikan-kebikan yang berlimpah dari Allah Ta'ala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H