Kami adalah sabda yang terlahir dari goresan vandal tangan-tangan urban, pesan yang terkutuk sejak dimulainya kontestasi kekuasaan. Ketika manusia-manusia durjana berebut tahta dengan kanak-kanak durhaka, maka biarkanlah kami tumbuh di tengah percikan huru-hara. Di antara sebaris pengecualian Jenghis Khan, di antara ideologi yang terhunus taman jahanam.
Sementara tiada yang bersaksi kala hujan terlalu deras, dan atau rinai menjadi gerbong pemberontakan. Sebab telah kami tangguhkan, bahwa kami bukan monarki yang tersaji dalam televisi: layar kaca saban hari yang mengklaim diri sebagai nabi. Atau raja dari segala raja arogansi, penyesat Jemaah militansi.
Kami adalah bunga yang bermekaran tanpa pekarangan. Nisan tanpa tulisan. Lisan tanpa krisan. Setiap kata-kata kami simpan dalam selokan. Sebab di hadapan tiran, kami hanyalah segerombolan pembangkang.
Buku-buku perlawanan mana lagi yang hendak tuan musnahkan? Hidup di hari ini sekedar makan berhutang dan mencari pinjaman untuk membayar beban moral pada si Fulan. Kami tak pernah keberatan ketika tuan mengorbit sajak-sajak asmara, lalu menyelipkan sepenggal kemiskinan pada tanah yang diberi empat jempol kekayaan. Dan kami tak pernah risih pada kebenaran yang pada khalayak ramai dapat diukur dan disetarakan dengan atas nama kemaslahatan. Tetapi kami bukan dari bagian.
Kami adalah prediksi demonstran yang terancam hilang. Serupa dengan citra slam dunk yang gagal menembus ring, kemudian terpuruk di pojokan menjadi pecundang. Atau serupa dengan negarawan yang rutin memproduksi limbah retorika sepekan mendatang.
Karena itu, kamilah apatis yang terancam porak poranda. Di bawah perjanjian kitab dangkal imperium para dalang.
***
Sukabumi, 28 Januari 2019
Fingga Almatin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H