Aku sudah selesai membaca novel Pak Cik Andrea Hirata yang terbaru yaitu Guru Aini. Novel ini merupakan prekuel novel Orang-Orang Biasa.
Aku begitu mengandrungi novel-novel Pak Cik. Tapi aku selalu merasa tak ada yang bisa mengalahkan tetralogi Laskar Pelangi. Keempat novel itu terlampau magis hingga aku sering merasa novel-novel anyar Pak Cik tidak cukup menggetarkan.
Ada sih yang juga berkesan, misalnya novel Ayah dan dwilogi Padang Bulan. Tapi, seperti novel Sirkus Pohon, Orang-Orang Biasa dan bahkan yang terbaru Guru Aini, itu tak mengobati kerinduanku dan tak memuaskan harapanku.
Ya, aku mengerti tidak semua orang bisa harus selalu menyesuaikan kita. Tapi ini hanyal pendapatku pribadi.
Dari segi cerita dan tema yang diambil, novel Guru Aini menawarkan cerita ketangguhan guru dan murid yang amat mencintai matematika. Itu elok nian.
Penggambaran bagaimana usaha seorang guru dalam mengajar matematika kepada muridnya yang amat bebal amat inspiratif. Guru Matematika harus membaca novel ini!
Tapi, kisah itu terlalu mudah ditebak. Ini tak nampak seperti pak Cik yang biasanya.
Ah, atau mungkin karena novel ini adalah sebuah prekuel. Ya, bisa jadi. Juga, pada novel ini pak Cik kurang mampu memberi ruh pada tokoh-tokohnya. Biasanya juga tak begini. Ehm, mungkikah karena aku kurang menjiwai ketika membacanya?
Selanjutnya soal unsur kejenakaan, aku curiga aku semakin tidak terkejut dengan unsur jenaka yang Pak Cik ciptakan karena aku sudah khatam dengan ke-12 karyanya. Unsur jenaka itu tak lagi sekental dulu ketika aku baru membaca karya-karya beliau. Ya, itu juga bisa jadi alasannya barangkali.
Selain itu Kawan, menurutku pribadi, ada kekurangan paling menonjol dari karya ini dibandingkan ke-11 karya lainnya, yaitu banyaknya kutemui penulisan yang rumpang.
Seperti misalnya di sana ditulis "ayahnya" tetapi malah ditulis "ayahmu". Itu sangat ketara. Apalagi, ada kapitalisasi yang kurang tepat pula, juga pengulangan kata yang tidak perlu.