Lihat ke Halaman Asli

Finda Rhosyana

Manusia yang bercita-cita ingin jadi jurnalis

UN, SBMPTN, Kegagalan Hingga Jatuh Pada Pilihan Terbaik di Tahun Berikutnya (Part 1)

Diperbarui: 8 Desember 2017   09:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi ceritanya begini, bukan maksud sok memotivasi atau pamer usaha. Bukan! Tapi disini saya hanya ingin bercerita tentang masa kritis mengejar bangku kuliah. Sungguh ya! Waktu SMK saya (mungkin semuanya) pasti pengen cepet-cepet merasakan gimana rasanya jadi mahasiswa. Apa lagi bisa lulus di Universitas Negeri di Pulau Jawa lewat jalur SBMPTN. Itu cita-cita sebagian besar dari kami.

Kelas XII SMK mungkin adalah masa dimana aku merasakan kegalauan. Ya, wajar saja sih, aku ini orangnya gak terlalu pintar, tapi aku bisa dikategorikan siswa pemalas dengan tampang baik. Saya sudah memikirkan banyak pilihan untuk saya isi di SBMPTN nanti, mulai dari Sastra Indonesia, Ilmu Komunikasi, Ekonomi, Ilmu Politik, Psikologi sampai pilihanku mengerucut pada dua pilihan yang telah dipilih dengan beberapa pertimbangan, yaitu Sastra Indonesia dan Psikologi.

Oke, nanti dulu ya aku bercerita mengenai alasan dan pertimbanganku memilih dua jurusan itu. Aku akan bercerita tentang kelalaianku semasa SMK. Sudah aku sebut di atas bahwa aku seorang pemalas. Lebih tepatnya malas belajar di dalam kelas, malas belajar hal yang tak aku suka. Saat memasuki semester V, ya beberapa bulan menjelang UN dan ujian-ujian lain di sekolah, aku baru mulai sedikit serius. Aku mulai mengakrabkan diri dengan buku-buku, kebiasaan menunda-nunda aku kurangi. 

Aku baca lagi buku-buku kelas X dan XI yang mata pelajarannya akan diujikan dalam UN, terutama pelajaran produktif dari jurusanku: Akuntansi. Dan entah konspirasi apa yang terjadi, di masa-masa kritis itu, handphone kesakunganku raib di tangan maling. Ya, sedih dan jengkel tentu saja! Yapss, berbagai cara aku lakukan agar bisa pass. Karena target saya  bukan saja lulus UN tapi juga berdiri menjadi yang terbaik, mengingat tiga tahun lalu aku telah terang-terangan menargetkan diri masuk peringkat 10 besar nilai UN tertinggi di sekolah, yang di hari kemudian aku terbelalak menengok target yang aku tulis itu. 

UN tinggal beberapa hari lagi, namun masih banyak materi yang tak aku kuasai. Ah, pungguk merindukan bulan tentu saja. Tidak realistis, sangat mustahil. Dengan fakta demikian, aku mengubah haluan, mulai saat itu target aku hanya lulus UN,  tak penting seberapa buruk hasil yang aku toreh, yang penting aku bisa lulus kuliah. Hanya itu yang tergambar dalam kepalaku kala masa kritis itu.

Saat pengumuman mengenai siapa saja siswa yang mendapat kehormatan mengisi formulir undangan atau SNMPTN, aku sudah begitu yakin, kelalaianku selama ini tidak akan cukup bagiku untuk dapat menerima rekomendasi itu. Kecewa? Sudah pasti, apa lagi aku ini seorang anak perempuan yang hatinya cenderung lembut. Tapi aku tak ingin tenggelam dalam kesedihan yang tidak bermanfaat. Kejadian ini malah menjadikan aku termotivasi, aku ingin membuktikan kepada guru-guru bahwa aku dapat lulus SBMPTN.

Saat itu aku masih kelas XI, aku merengek meminta restu kepada ibu agar diizinkan kuliah setelah lulus nanti. Ya, aku masih ingat bagaimana keluarga pernah tidak mendukung aku untuk kuliah selulusnya dari sekolah, terutama ibunda. Alasannya klasik, masalah biaya dan pandangan awam kalau tidak begitu penting menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi. 

Aku sudah mencoba meyakinkan beliau bahwa di universitas nanti pasti banyak beasiswa yang bisa meringankan membiayai pendidikan, tapi ibu masih saja tak bergeming. Abangku yang pertama juga tidak bisa menjanjikan akan bisa menguliahkanku, mengingat dia sendiri banyak sekali kebutuhannya. Mereka menyarankan agar aku bekerja lebih dulu saja, setidaknya satu tahun setelah itu baru melanjutkan pendidikan lagi. Dengan menuruti saran seperti itu, berarti aku kembali pada rencana awalku di tiga tahun yang lalu, saat dimana aku belum betul-betul paham kalau kuliah itu penting sekali. Ya,  aku mencoba melapangkan dadaku, meski sesak tak tertahankan rasanya.

Seorang teman bertanya padaku, setelah lulus mau kerja atau kuliah. Kujawab dengan tidak sepenuh hati kemungkinan besar bekerja dulu. Dia bertanya alasannya kujawab tak direstui ibu karena masalah biaya. Dia terdiam memahami, meski dia juga tahu bahwa sesungguhnya aku sangat ingin kuliah. Temanku yang satu ini, dia sangat mengerti aku.

Waktu semakin berlalu, dari bulan menjadi minggu dan selanjutnya hari demi hari. Ajaibnya waktu, ia mampu meluluhkan hati ibuku. Yup!! Kini, beberapa hari menjelan UN, aku mendapat restu Ibu untuk kuliah. Aku begitu bahagia. Ini memang hanya restu, tapi bukankah ini melebihi apa pun, Kawan? Langkahku terasa jauh lebih ringan, hatiku yang terluka perlahan menguapkan segala perih yang setahun ini menjeratnya. Aku semakin semangat belajar, aku belajar sampai jauh malam. Aku ingin lulus UN dan aku sangat-sangat ingin lulus di PTN tahun ini.

Yups! Akhirnya saya lulus UN! Dengan kegalauan saat ujian dan menunggu hasilnya. Ah, alhamdulillah, aku menangis terharu melihat hasil milikku. Tentu saja aku tidak masuk 10 besar nilai UN di sekolah, tapi hasil yang kutorehkan jauh dari yang aku perkirakan. Ini sangat tak terduga, melebihi harapan. Tidak terlalu tinggi, namun cukup memuaskan hatiku. 35,12 dengan nilai terendah menimpa pelajaran yang paling tak aku kuasai dan tak begitu kusukai memang, produktif akuntansi. Maaf, bila aku ini mengecewakanmu, Ibunda Guru. Percayalah, aku telah mengerahkan seluruh kemampuan untuk bisa mencintai Akuntansi. Sungguh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline