Lihat ke Halaman Asli

Di Ujung “Batas”

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perjalanan ke alam, bukan sekedar berlelah-lelah raga dan membunuh waktu di tanah tinggi. Melainkan menenangkan jiwa dan mendekatkan jiwa kepada Yang Kuasa, Sang pemilik Semesta. Berkenalan dengan mereka yang tidak pernah kau bayangkan dan harapkan sebelumnya, dan hebatnya, kamu akan bergitu kenal dengan dirimu sendiri, ya.. kadang kita angkuh dan sombong tapi kita tidak “mengenal” itu dalam diri kita. Kali ini perjalanan bergeser ke arah Timur kota Istimewa. Tanah tertinggi dipulau Jawa denga ketinggian 3676 m.Dpl. tanah dengan segala misteri keindahannya. Tanah dengan limpahan rezeki dari Sang Maha.

Kereta melaju menuju Timur Jawa. Saya dan ke 3 teman lainnya adalah Tim dalam perjalanan kali ini. Membiasakan dengan lingkungan yang jarang di jamah merupakan hal yang harus di jalani saat mendaki dengan orang yang belum begitu kenal. Kita saling mengenal dengan cerita-cerita lucu pribadi. Kenyamanan pun mulai memberikan bahunya untuk bersandar.

Perjalanan kali ini memakan waktu yang panjang, mulai dari naik kereta, ngeteng angkutan umum dan sampai harus menggunakan kaki sendiri untuk berjalan. Ya.. ini perjalanan yang panjang dan aku selalu menunggu pelajaran apa yang akan hadir dalam pertemuan dengan alam kali ini. Bukan alasan utama “Gunung tertinngi”.  Akan tetapi ingin menikmati keindahan alam yang selalu sliwar-sliwir ditelingaku, mengusik gendang telinga, tak kala teman-teman bercerita tentang gunungnya para dewa itu.

Setalah habis ngeteng angkutan umum, truck dan sekrang waktunya ”usaha” raga sendiri. Tak ada yang bisa menolong kecuali niat dan semangatmu. Selama perjalanan, hamparan pohon-pohon lamtoro menjulang ke atas dan sesekali bernyanyi riang burung-burung kecil di antara pohon-pohon besar. Subhanallah.. itu kata yang tak habis aku ucapkan, tak kala mendengar suara burung menyanyi sahut menyaut. Kiri kanan, depan belakang bagai lukisan yang terpampang dalam figura indah, karya  Sang Semesta. Melewati post 1, post 2, post 3 dan kemudian sampailah kita di post 4. Surganya Semeru.... Ranu kumbolo, berkumpul sang penyambung hidup dalam satu wadah besar. Badan yang sedari tadi telah letih, tapi terus berusaha menjaga semangat dan niat untuk menikmati alam-Nya terobati dengan hamparan air yang terasa menyegarkan. Dengan segara kami melanjutkan langkah, tak sabar rasanya ingen membasuh muka dengan air ranu dan mengistirahatkan badan yang hampir 7 jam bergerak. Letih.. memang letih, tapi siapa yang akan mendustai keindahan lukisan alam?.

Semalam beristirahat terasa cukup, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini kita akan menuju kali mati, dimana konon katanya ada mata air yang disebut dengan sumber mani. Aku ingin membasuh tenggorokkan dengan air itu. semangat terus di jaga. Setapak demi setapak kembali kami lantunkan. Belum berapa lama kami berjalan, di balik bukit kecil menari-nari si ungu di hamparan tanah lapang yang luas. Bunga lavender, ungu yang menggelitik mata dan membuat segaris manis di senyum para pendaki. Oh surga... terasa dekat, puji-pujian untuk Sang Maha tak henti terlontar. Kami sempat menghabaiskan waktu satu jam untuk menikmati padang lavender dengan berfoto-foto atau memutarkan pandangan 180 derajat agar menikmati setiap lekuknya.

3 jam berlalu, sudah terdengar ramai-ramai suara pendaki. Sampailah kita di kali mati. Tempat untuk beristrahat menggumpulkan kembali tenaga, menguatkan semangat dan niat sebelum menuju puncak. Selepas makan malam, tak sabar rasanya ingin segera melangkahkan kaki kesana. Akan tetapi, dingin yang begitu dingin mulai menyusup dari balik kain pakaian dan mesuk kepori-pori tubuh kami. Kami kedinginan dengan kondisi pakaian berlapis-lapis. Entah berapa suhu pada malam itu. kami memutuskan untuk bangun dan berolah raga ringan, agar dingin tidak perlahan mematahkan semangat kami atau paling ekstrim, menggerogoti sendi-sendi tulang dan akhirnya kami “patah” disana.

Sepertempat malam, kami pun mulai mengatur irama kaki. Kali ini medan yang kita lalui berbeda dengan sebelumnya yang banyak landai-landai saja. Kali ini nanjak dan berdebu. Pohon pinus menghiasi malam kali ini. Udara dingin masih menari-nari di lembutnya kulit yang tidak tertutup kain. Sesekali kami berhenti karena kaki yang perlahan keram. Mengatur napas dan kembali berirama. Barisan lampu menjadi pemandangan yang biasa. Langkah dan napas tetap berirama sampai kaki memijak pasir. Ya.. pasir, bukan tanah. Disinilah mental dan niat kembali di uji. Menapak tiga ke atas, turun tiga lagi kebawah. Penapak pasir punya caranya sendiri. “pijak yang pasti, kaki di masukkin kepasir kemudian denngan cepat kaki sebelahnya melangkah kemudian peganggan”. Kata-kata itu terus aku dengar dari kawan yang menyalip. Beberapa kali dapat bantuan dari kawan pendaki lain yang membawa tali. Perlahan tapi pasti, langkah terus berayum. Kondisi badan yang lelah, dingin dan kurang tidur menjadi faktor semangat menurun. “gimana? Masih kuat?” beberapa kali pertanyaan itu terarah ke tubuh munggil ini. “masih” atau sesekali mengangguk. hanya itu jawaban yang bisa diberikan. Mulut dan hidung hampir penuh dengan debu, dingin masih setia menggerayangi. Sesekali tubuh ini terdiam di dekat batu penyangga. Bertanya-tanya, “apa saya masih kuat?” sendi-sendi mulai terasa ngilu. Bantuan oksigen pun tak lepas dan beberapa langkah. Di Timur sudah merangkak si manis. Hari sudah mulai pagi, track semakin terlihat, kekuatan semakin menghabis. Aku dan salah 1 dari 3 menepi dan menikmati sunrice dari jalur menuju puncak. Dengan keadaan lemah, kami hanya banyak bercerta dan sesekali menggumbar senyum kepada pendaki lain.

Matahari semakin merangkak naik, setelah segelas susu habis. Kami pun merapikan bawaan dan dengan niat untuk terus melanjutkan perjalanan. “masih kuat? Kalau enggak, kita turun aja. Tidak akan kemana gunung ini, dia masih akan tetap berdiri gagah disini”. Kata-kata itu terlontar lagi, menghantam telinga yang beku. Dia mengerti keadaan yang sudah terlanjur lelah, matahari semakin tinggi. Dengan posisi merangkak dan menghadap ke arah puncak, pagi itu kami disuguhi gumpalan asap yang selalu keluar dari kawah Semeru. Hal itu membangkitkan semangat lagi, tapi.. lagi dan lagi... 3 langkah selanjutnya kaki terhenti. Tulang terasa beku dan nafas terhirup satu-satu. “sudah, kita turun saja, jangan dipaksakan”. Kalimat itu langsung menghujam niat dan semangatku. “ya.. ini ujung batasku. Tuhan telah memberikan manusia kapasitas diri masing-masing. Apa daya sudah tidak mampu dan dipaksakan. Keluarga menunggu dirumah, tidak akan ku tinggalkan nyawa di jalan menuju puncak ini”. Kata-kata itu dengan tiba-tiba berkumandang di otakku. Tajam ku pandang kawan yang sedari tadi menemaniku dan kemudian berucap “ya... kita sampai disini saja”.

Ini pelajaran pada Bab ini, “tidak akan lari gunung dikejar” pepatah mengatakan. Jagan paksakan jika raga sudah tidak kuat, niat dan semangat bagai roh sementara yang menjadi penggerak adalah raga. Tetaplah seirama antara jiwa dan raga agar senantiasa teduh. Ya... ini ujung batas raga ku.. mari pulang dan beristirahat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline