Lihat ke Halaman Asli

Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 Sebagai Budaya Politik

Diperbarui: 8 Oktober 2016   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Karena sebagai makhluk sosial, manusia pasti akan membutuhkan orang lain untuk memenuhi segala kebutuhannya. Baik itu kebutuhan biologis maupun kebutuhan psikologis. Selain itu, dalam komunikasinya dengan orang lain, manusia juga butuh akan adanya eksistensi diri. Manusia itu butuh dilihat, butuh dihargai, dan butuh diakui keberadaannya oleh masyarakat.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan politik mampu menghasilkan berbagai macam pendapat, pandangan, dan pengetahuan terhadap praktik-praktik yang ada dalam sistem politik. Pegetahuan-pengetahuan inilah yang di kemudian hari melahirkan sebuah budaya politik, yang mana di dalam budaya politik itu meliputi legtimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, dan gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.

Dalam perkembangan politik di Indonesia, tentu tidak lepas dari peristiwa yang terjadi pada tahun 1998 silam. Dimana pada saat itu terjadi gerakan mahasiswa Indonesia yang menuntut diturunkannya Presiden Soeharto dari jabatannya setelah beliau berkuasa selama 32 tahun, namun justru kembali terpilih menjadi presiden lagi untuk yang ke-7 kalinya. Gerakan mahasiswaini dilatarbelakangi oleh krisis moneter yang menyerang kawasan Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Meningkatnya inflasi dan pengangguran menciptakan penderitaan dimana-mana. Termasuk juga korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melanda tanah air. Hal ini membuat kebencian rakyat meradang dan dituangkan dalam unjuk rasa yang kemudian menimbulkan Tragedi Trisakti pada 12-20 Mei 1998. Perjuangan mereka berhasil, Soeharto akhirnya mundur dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998.

Peristiwa ini merupakan salah satu wujud budaya politik partisipan, dimana masyarakat sudah memiliki kesadaran penuh untuk berpartisipasi di bidang politik. Mereka juga sudah mampu mengemukakan opininya dengan melakukan unjuk rasa demi mencopot jabatan Pak Harto. Dalam budaya politik partisipan, masyarakatnya dianggap sudah memahami tentang empat dimensi penentu budaya politik, yakni: seberapa jauh tingkat pemahaman mereka tentang sistem politik negara, pemahaman tentang struktur pemerintahan, pemahaman tentang arah kebijakan yang ada, dan partisipasi masyarakat dalam sistem dan kehidupan politik.

Dalam Gerakan Mahasiswa 1998, para mahasiswa itu memiliki pengetahuan dan kesadaran politik yang tinggi, mereka benci dengan segala problematika politik yang terjadi pada masa Orde Baru, dan mereka memiliki keinginan untuk bisa memperjuangkan hak-hak rakyat yang terabaikan. Hingga akhirnya, mereka menyuarakan kritik dan tuntutan mereka kepada pemerintah dalam bentuk unjuk rasa. Meski aksi itu sampai menimbulkan korban jiwa, namun mereka bersyukur karena kekuasaan Soeharto akhirnya berakhir, dan empat mahasiswa yang gugur dalam tragedi Trisakti itu diangkat sebagai Pahlawan Reformasi.

Peristiwa ini mengajarkan kepada kita sebagai generasi saat ini, bahwa jika kita ingin negara kita berubah menjadi lebih baik, maka jangan pernah ragu untuk bisa menyampaikan aspirasi kita sebagai rakyat. Tentu dengan cara yang baik dan benar. Bila perlu, ajak kenalan kita yang memiliki posisi kuat dalam dunia politik untuk membantu kita. Berikan aspirasi terbaik kita demi Indonesia lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline