Lihat ke Halaman Asli

Semilir Senja Milik Semua Jiwa

Diperbarui: 30 September 2015   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja, semilir angin singkat yang selalu membuat saya berdecak kagum akan kuasa Tuhan sang Maha Malik. Negri ini memang pantas di juluki sebagai surga dunia. Bagaimana tidak, Indonesia dengan maha kaya Sumber Daya Alamnya juga memiliki Sumber Daya Manusia yang sangat berkualitas. Fakta tersebut merupakan bukti kuat bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi negara maju. 

Sejak lahir, saya memang sudah tinggal di Ibu Kota Indonesia ini, Jakarta. Tempat yang sangat mempesona lengkap dengan permasalahan yang cukup pelik karena kota yang di kenal dengan kota metropolitan ini punya banyak cerita akan penghuninya. Berdasarkan data yang dirilis dari Badan Pusat Statistik tahun 2015, negara yang memiliki persentase populasi yang cukup tinggi, bahkan tertinggi ke-empat di dunia memiliki jumlah penduduk yang mencapai 255.461.686 jiwa yang terdiri dari lebih dari 50 juta usia 0-14, 150  juta lebih  usia 15-64 dan 10 juta lebih usia 65 ke atas. Jumlah tersebut memang bukan jumlah yang sedikit dan permasalahan yang dimiliki pasti beragam, bahkan bisa dibilang rumit baik permasalahan di pusat kota maupun di dalam kota sampai ke pedalaman.

Beragam permasalahan yang masih sangat perlu di benahi seperti masalah Ekonomi, Budaya dan Sosial akan selalu menjadi tema negeri ini, terutama bagi sebagian pihak yang memiliki wewenang penting baik dari pihak kementerian maupun non-kementerian. Dari sekian tema, ada satu hal yang amat sangat dekat melekat dengan kehidupan kita sehari-hari yaitu kelayakan hidup.

Sudahkah setiap jiwa yang hidup di negri ini merasakan kehidupan yang sejahtera, hidup layak dan bekerja wajar. Tentu, jawabanya belum. Namun, kelayakan hidup seluruh masyarakat Indonesia adalah hak setiap jiwa. Meski ratusan juta jumlahnya, namun dengan potensi yang dimiliki Indonesia, maka bukan tidak mungkin semua penduduknya dapat merasakan kehidupan yang layak.

Dulu,  saya fikir mereka yang tinggal di pedalaman atau di daerah terpelosok seperti di perbatasan Pulau baik di pulau jawa maupun di luar pulau jawa menjadi satu-satunya sasaran utama untuk disejahterakan kehidupannya. Namun, ternyata di tengah hiruk pikuk kehidupan Ibu kota, ada keadaan yang kontras dengan predikat kehidupan di kota. 

Orang Pinggiran

Bagi sebagian penduduk kota Jakarta yang setiap hari menggunakan commuter line rute Bekasi-Jakarta Kota pasti sering memperhatikan pemandangan yang cukup membuat hati siapapun terenyuh melihat kehidupan yang dialami oleh orang pinggiran kota, tepatnya pinggiran rel. Mereka yang bertahan hidup di balik bangunan lusuh terbuat dari susunan kayu atau triplek dengan atap seadanya. Pekerjaan mereka tidak lain dari seorang pemulung, yang dicari bukan barang berharga, hanya lembaran kardus yang masih layak digunakan dan gelas plastik bekas yang mereka pungut dari beberapa warung makan. Jam-jam makan siang menjadi peluang terbesar baginya untuk mendapatkan gelas plastik bekas lebih banyak untuk di kumpulkan di karung yang mereka gendong dibelakang pundak mereka untuk kemudian diberikan kepada pengelola barang bekas agar bisa dijadikan nilai rupiah.

Tidak sedikit dari mereka yang masih muda bahkan dibawah umur sudah menggeluti perkerjaan sebagai pemulung. Meskipun pekerjaan itu halal, mereka tetaplah generasi penerus yang sangat berhak mendapatkan pendidikan yang layak  karena kelak, mereka akan menjadi salah satu pemimpin yang akan memimpin negara ini. Oleh karena itu, pendidikan adalah satu hal wajib yang harus mereka dapatkan. Selain mereka yang masih di bawah umur, tidak sedikit pula yang sudah lanjut usia bahkan sudah renta dan masih berprofesi sebagai pemulung. Bukankah seharusnya mereka menikmati sisa hidup dan masa senjanya di tempat yang nyaman atau berada di tengah keluarga yang hangat?. Seharusnya mereka juga harus mendapatkan ruang untuk mengisi masa senjanya.

Selain kondisi itu, diantara rute commuter line Manggarai-Tanah Abang juga memiliki pemandangan serupa. Apabila diperhatikan ketika kereta api listrik rute tersebut berhenti sejenak untuk menunggu antrean sinyal masuk stasiun Manggarai, penumpang commuter line di rute tersebut dapat melihat keadaan di bawah jembatan menuju halte transjakarta Halimun. Disana ada kehidupan sangat sederhana nan tak layak tang sedang berlangsung. Mereka tidak lain adalah sekelompok pemulung yang terpaksa hidup di kolong jembatan. Alas tidur mereka bukan lagi tanah, melainkan rangkaian besi penyangga jembatan yang diberi selembar kayu tipis atau kardus untuk tempat beristirahat dengan lengkap di bawahnya mengalir aliran sungai, yang bukan tidak mungkin sewaktu-waktu alirannya akan semakin deras dan  debit airnya akan meningkat saat musim hujan tiba.

Hari Habitat Dunia

Menyaksikan kenyataan sebagian masyarakat yang masih melangsungkan hidup di satu tempat yang tidak layak merupakan salah satu fakta bahwa kepedulian pemenuhan kebutuhan perumahan dan pemukiman yang layak untuk seluruh lapisan masyarakat harus terus di galakkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline