Naik ojek (motor) bukan barang baru buat saya. Jaman kuliah saya biasa ngojek dari Depok ke Sudirman, Cawang hingga Pondok Aren demi skripsi. Saat bekerja bahkan saya punya langganan ojek bulanan untuk antar jemput ke kantor. Gak heran abang ojek langganan yg 'gak jelek-jelek amat itu disangka pacar saya. Mana makin hari gayanya makin keren 'gak murahan, plus seumuran ama saya. Well si abang ojek sih kayaknya pengen beneran jadi pacar saya hahaha.. Sayangnya rasa dia bertepuk sebelah tangan. Kisah cintanya BUKAN jadi inspirasi saya menulis ini. Harap diingat.
Setelah lama tidak menulis postingan, rasanya pengalaman bergo-jek perdana kemarin menarik untuk dibagi. Apalagi selama hampir 10 tahun tidak lagi tinggal di Jakarta, seringkali saya kangen naik ojek. Bukan karena macet, karena aneka kota lain yang saya tinggali punya transportasi massal yg cukup baik. Tapi justru itu! Transportasi massal berarti mengikuti jadwal dan hanya berhenti di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Sementara lokasi yang kita tuju bisa jadi diantara lokasi perhentian atau harus berganti alat transportasi atau nanggung!
Semua yang di atas itu.. alesan doang. Intinya sih, kangen ojek karena saya males! Apalagi kalau sedang musim panas yang membuat kegiatan jalan kaki menjadi luar biasa siksaannya buat saya.. #lebay.com. Berhubung Jakarta cukup dominan panasnya saat mudik, pasti ada aja penyebab saya akan ngojek, mulai dari ke abang pangsit langganan sampai janjian cantik di Pacific Place.
Mudik terakhir ini baru sempat saya nyoba Go-Jek, ojek versi kekinian yang hits di Jakarta. Keluarga dan teman-teman dekat rupanya banyak yang belum tau rasanya ngojek Go-Jek, apalagi menggunakan servis lainnya, wong aplikasi aja blum di donlot. Sampai ibu saya wanti-wanti, 'Hati-hati 'Nak, kita ga tau itu supir ojeknya siapa.. Jangan sampai kamu dicelakai.. Sampe di tujuan kabari Mama ya..'. Di Jakarta yang kejam, anything is possible, kan! Plus kami emang biasanya punya tukang ojek langganan. Tinggal telpon ke hp-nya, cuss beres. Mbonceng ke 'total strangers' hampir raib di kamus ibu saya.
And guess what? Kenekatan saya nyoba Go-Jek malah jadi inspirasi! Perjalanan belasan kilometer dari Ampera ke Gramedia Palmerah dipenuhi obrolan menarik tentang pandangan supir Go-Jek saya yang ternyata sarjana akuntansi dan nyambi jualan mi ayam.
Sang supir yg bernama Fikri bercerita sedikit tentang pekerjaan kantorannya di masa lalu sebelum dia memulai usaha mi ayam di rumahnya. Seorang teman mengajak dia daftar di Go-Jek bermodal motor dan SIM. Bang Fikri ini terdengar bangga saat menceritakan proses kerja di Go-Jek plus pengalamannya membonceng Nadiem Makarim beberapa kali. (Dari ribuan armada Go-Jek, mungkin dia yg telah beberapa kali bertemu langsung dengan Nadiem, founder Go-Jek di luar urusan training). Baginya (dan mungkin supir armada Go-Jek lainnya), sistem kerja yang diprakarsai Nadiem ini mudah dan cukup berpihak kepada para supir.
Dia pun sekarang berusaha mengajak beberapa kenalan yang berprofesi tukang ojek asli untuk bergabung dengan Go-Jek karena akan dibantu oleh Go-Jek mendapatkan penumpang tanpa harus mengorbankan penumpang langganan masing-masing. Plus masih boleh ngambil penumpang yang tidak memesan via go-jek jika ingin. Intinya sih, melakukan perubahan yang tidak akan mengubah kebiasaan di masa lalu. Justru penggunaan waktu sehari-hari bisa lebih efisien karena tidak perlu berlama-lama menanti penumpang di pangkalan.
Kata bang Fikri ini, saat resmi diterima menjadi supir Go-Jek, dia mendapatkan training dari Polda Metro tentang berkendara yang aman dan mematuhi rambu lalu lintas diluar pengarahan dari go-jek itu sendiri. Starter kit yang diterima antara lain jaket, 2 helm dan 1 handphone yang sudah diset utk menerima informasi pelanggan dan sarana komunikasi. Semua tanpa membayar sepeserpun ke Go-Jek. Sistem pulsa, yang berarti setiap supir dikasih 'modal' oleh go-jek juga menjadi daya tarik. Intinya, dia memang hanya perlu bermodal motor dan itikad baik :)
Kenapa itikad baik? Karena godaan utk sabotase penumpang tentunya besar. Tapi dia bilang, "go-jek ga membatasi saya utk cari rejeki. Tapi saya ga boleh tuh mbak, kasih nomor telepon saya biar mbak order langsung ke saya. Tetep mbak harus lewat go-jek ya... " Terharu gak sih dengan komitmen dan loyalitasnya? Padahal dia baru bergabung di Go-Jek beberapa bulan saja. Gak gampang loh menumbuhkan sikap semacam itu.
Di antara obrolan kami, bang Fikri juga sempat promosi. "Kalo mau pesen makanan juga bisa pake gojek loh mbak. Saya bisa dapet komisi lebih besar juga. Lagi ada promo bebas biaya anter nih. Anter jemput dokumen kita juga bisa." Gimana caranya? Saya memancing.
"Harusnya di henpon mbak ada caranya tuh."
Pembicaraan kami di durasi hampir 40 menit itu diselingi aneka pemandangan seru di jalanan Jakarta yang jujur sangat saya nikmati. Buat perantau macam saya, pemandangan deretan abang gerobak pinggir jalan saja menarik loh! Berkali-kali juga saya membayangkan aneka perubahan yang dapat terjadi jika Go-Jek ini terpelihara dengan baik.