Beberapa hari ini kata kafir dan nonmuslim sedang hangat diperbincangkan. Hal ini bermula ketika Rapat pleno dan Munas NU yang dilaksanakan pada 27 Februari 2019 ketua PBNU memberikan pengarahan untuk menghapus kata "kafir" menjadi "nonmuslim". Pernyataan ini tentu menuai berbagai kontroversi oleh berbagai pihak. Ada yang merasa menciderai nilai-nilai teologi islam ada juga yang merasa bahwa hal ini merupakan kebijaksanaan dalam hidup berbhineka. Lalu yang benar yang mana?
Setiap orang tentu memiliki preferensi sendiri dalam suatu hal, yang pada akhirnya bermuara pada sebuah opini. Sayapun tidak menyalahkan pihak yang membuat pernyataan atau yang beropini pro-kontra. Pada dasarnya penggunaan nomenklatur kafir dan nonmuslim memiliki nilai kebenaran pada konteks yang berbeda.
Dalam bahasa arab kafir berarti orang yang ingkar, sedangkan dalam terminologi Islam kafir merupakan orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran Islam. Jadi sah-sah saja penggunaan kata kafir untuk menyebutkan orang-orang yang tidak bergama islam, jika konteks yang dibicarakan adalah risalah atau ajaran islam.
Namun berbeda lagi ketika konteks yang dibicarakan adalah kehidupan sosial di Indonesia. Hidup di sebuah negara yang plural tentu sikap saling menghormati perlu dipupuk dan diimplemetasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ada sebagian orang yang tidak beragama islam merasa terhina ketika disebut sebagai kafir.
Konotasi negatif pada kafir yang ada ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat bisa jadi memicu perpecahan. Oleh karena itu, diksi nonmuslim saya rasa lebih tepat digunakan untuk menyebut orang yang tidak beragam islam dalam konteks sosial. Hal ini juga berlaku diagama lainnya, sah-sah saja penggunaan nonhindu, nonbudha, ataupun nonkristen.
Permasalahan keyakinan merupakan sesuatu yang sangat pribadi dan sensitif. Agama adalah urusan antara seseorang dan Tuhannya, sehingga tidak patut untuk menciderai keyakinan orang lain. Risiko besar menghadang ketika seorang penulis mencoba mengulik topik ini.
Namun, saya sebagai warga negara Indonesia merasa sangat prihatin ketika isu agama masih menjadi sebuah peluru perpecahan bagi Indonesia. Masyarakat Indonesia perlu membuka mata bahwa negara-negara lain sudah sibuk mengolah berbagai data, melakukan riset, menciptakan teknologi canggih, dan hal luar biasa lainnya. Sedangkan Indonesia masih sibuk dengan hal yang sangat pribadi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H