Lihat ke Halaman Asli

Profesional Buah Tradisi Modern, Bag.2 (Konsekuensi akan sikap Oportunis)

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13728562291383933656

Gemuruh kesenangan pun berabuh ditiang keheningan, spontan saja kaisar yang sedang bergembira dibuat si bungkuk menderita, akibat beban dongkol yang terpaksa harus diterima, waduoohh,. "apa yang kau akan pentaskan dihadapan, berbual atraksi lawak atau kau ingin beradu ?" tanya raja dengan sedikit murka, bersambut hulu ledak tawa semakin nyata di tengah hari itu. Berbekal jirigen dan corong digenggamannya, si bungkuk langsung mengerat lidah lalu bersuara, "wahai kaisarku, raja yang tampak tamak dengan deretan tahta, aku mengakui bahwa engkau tak ubahnya seorang ahli panah yang luar biasa, tapi jangan sombong baginda, profesionalitas anda tercipta akan suatu kebiasaan terulang, dengan banyak kesalahan yang diubah bersama kegagalan dan kemudian tak ingan kembali merasakan, sebuah kejadian terulang, mencipta tabiat anda sekarang seorang profesionalis panahan (ahli panah)".

[caption id="attachment_264498" align="alignright" width="270" caption="Pekerja Sosial, bekerja dengan konsep profesional dalam menangani bencana"][/caption]

"olehnya, saya tak akan menantang baginda dengan apa yang baginda kuasai, tapi mengajak baginda untuk beradu pada tantangan (sayembara) yang saya ciptakan. Hanya menuangkan minyak tanah ini kedalam botol kaca, mudah bukan? namun botol kaca itu haruslah ditutup dengan uang logam kita, logam yang ditengahnya berlubang tanpa menggunakan bantuan corong, bagaimana paduka ? Hanyalah pekerjaan klan rendahan, yang semua orang mudah lakukan, apalagi dengan predikat luar biasa sepertimu paduka ??" imbuh si bungkuk.

Ini tantanganku, bagi siapa saja mau beradu dan bisa mengalirkan satu jirigen minyak tanah berukuran 5 liter kedalam botol ini, tanpa tertumpah atau mengenai, menyambar logam yang berlubang kecil ini, maka saya siap mengangkatnya sebagai guru, dan rela menghambakan tubuhku hanyalah untuknya. Adapun, setiap yang kalah tak akan dipermalukan layaknya hukuman sang raja.

Orasi tersebut diulang sang bungkuk beberapa kali, si bungkuk merupakan seorang pedagang minyak eceran namun 'termasyur" dimasa itu. Namun, sayang setiap yang hadir tampak lesu dan kaku karena mustahil dapat memasukan minyak tanah tanpa bantuan corong, apalagi di lubang yang berukuran kecil, imbuh seorang menteri kaisar.

[caption id="attachment_264499" align="alignright" width="149" caption="Jurnalistik, profesi yang menuntut Profesionalisme kerja"]

13728564022021766397

[/caption] Hanya raja yang berani ataupun menyela pernyataan si bungkuk, dengan sedikit linglung raja yang tadinya dongkol spontan beraksi dan lantas mengambil jirigen kemudian langusung mencoba menuangkan minyak ke botol kaca yang telah disediakan si bungkuk. Berdalih dengan anggapan remeh menjadikan setiap usaha dari raja seakan tak ada artinya dan malah membanjiri halaman istananya, meskipun demikian, tak ada reaksi dari audience yang melihat kaisar mereka telah melakukan hal bodoh yang tak bisa dibuatnya.

Bukannya memenuhi botol kaca dengan minyak, kaisar pun malah menggenapi penyesalan akan rasa malu yang semakin ditanggung, seakan mengiyakan kenyataan yang terus menjadi beban baginya. Melihat suasana semakin gila, dengan santai si bungkuk mengambil perabotnya, menjauhkan dari raja serta memapah kaisar untuk berdiri saja demi menyaksikan suatu atraksi yang akan dipentaskan sibungkukbuat menghibur sang raja.

menyusul pula lantam tabuhan istrument gong, drum, gendang dan berbagai perkakas kesenian memberikan efek hiburan tambahan, maka sang pengecer minyak dengan tenang berangkat beraksi, bahkan beberapa jirigenpun telah disiapkannya, bersama botol-botol kaca berukuran besarpun hadir, ibarat guci cantik dengan moncong mungil yang disumbat uang logam kecil.

Satu demi satu setiap jirigen yang ada dituangkan ke rongga lubang, detik kian melaju menemani si bungkuk mengisi botol-botol kacanya, minyak pun menghasilkan lengkungan sempurna dengan formasi sangat tipis (pipih) seakan tajam dan bergerigi. Suatu yang mustahil, sulit untuk dinalar, rumit untuk dinyatakan, namun, inilah kenyataan, persis tak pula menyentuh bibir lubang, diperhatikan ribuan yang hadir dan raja berdecak kagum akibat ulah si tua, hingga tetes terakhir ketika sisa minyak serasa tumbang dirongga lubang.

Waaww, baginda pun mengalirkan raja takjub yang tersumbat bersama iringan tepukan hadirin, seakan menenggelamkan bahkan merendam segala sifat antagonis baginda.

dan lagi,  dengan pose agak malu si bungkuk kembali mengumandangkan maklumatnya yang berisi :

[caption id="attachment_264515" align="alignright" width="165" caption="Modernitas, menuntut efisiensi, efektifitas, dsb disegala lini."]

13728614001319695673

[/caption] "Setiap insan baik tua hingga balita, baik yang kini walaupun yang belum ada, baik yang lalu ataupun penerusnya, setiap mereka memiliki peluang yang sama, dengan derajat, martabat, kualitas yang tak ada beda, hanya dipisahkan status, predikat yang terlanjur gila. Karena, setiap ahli adalah mereka, namun hanya beberapa dari merekalah yang dapat menjadi ahlinya, profesional (ahli) hanyalah suatu kebiasaan akan kapasitas yang mewujudkan tradisi yang istimewe. Profesionalitas seseorang tercipta dari bentuk kebiasaan yang terulang, dengan banyak kesalahan yang diubah bersama kegagalan yang tak ingin lagi diterima, sebuah kejadian terulang, menciptakan karakter tabiat, formasi yang paripurna.

Tak menanti terlalu lama, bagidapun seraya memotong demonstrasi si bungkuk seraya "Kamsia apresiasi", serta langsung menobatkan si tua bungkuk menjadi penasihat kerajaan dan meminta keiklasan hati si tua untuk menjadi ayah angkat sang raja. dikarenakan, berkat si bungkuk yang telah membuka pandangan (open mind) kaisar tentang kehidupan antar sesama. suatu kenyataan yang tidak pernah terbayangkan sekalipun, bahkan melampaui dari maksud yang dituju si bungkuk tua ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline