Lihat ke Halaman Asli

Ucup

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masih sekitar satu kilometer lebih untuk mencapai sekolahku, walaupun hanya sekolah yang sangat sederhana, namun menyimpan berjuta memori. Tepat di sebelah sekolahku, terdapat sekolah bagi murid-murid yang mampu, mereka datang dengan mobil mereka yang beragam mulai dari kijang tahun 1990-an, hingga mobil ford merah yang tampak sangat mewah. Sekolah yang berdiri begitu megahnya seakan-akan mengejek sekolah kumuhku. Inilah yang kubuat sebagai pacuan semangat belajarku, walau sekolahku kecil namun kami lebih berprestasi! Batinku.

Sesampainya di sekolah, aku bersegera untuk merapihkan kelasku, mulai dari mengambil sampah yang berceceran hingga mengusir ayam ayam yang tidak sopan karena memasuki sekolahku tanpa izin. Tanpa kusadari, seseorang duduk di pojok sembari memperhatikan gerak-gerikku. Itu Ucup, teman dekatku yang sangat berpengaruh bagiku. ia selalu begitu, datang dan pergi tiba-tiba, mukanya yang kusut menandakan banyaknya masalah yang sedang ia hadapi. Baru dua hari yang lalu ia ditinggal ibu tersayangnya untuk selama-lamanya setelah ibunya mengidap penyakit kanker otak selama tiga tahun lamanya, dan kabar terbarunya Ayah Ucup menitipkan dirinya pada pamannya dan ia akan menikah dengan perempuan lain tanpa membawa Ucup, lengkap sudahlah penderitaannya. Sebagai teman baiknya, aku hanya bisa membantunya dengan doa dan juga mengajaknya bermain untuk melupakan dukanya sementara. Untung saja, Ucup bukan termasuk anak yang terlalu terlarut dalam dukanya, dengan cepat ia bisa berbaur bercanda dengan kami seperti biasa, walau kutahu tawa dan senyumnya hanyalah salah satu caranya untuk melupakan semua masalahnya.

Usai merapihkan kelas, aku menghampirinya. “Cup, kamu kok kusut gitu?” tanyaku sembari duduk di hadapannya. Tatapannya kosong, bibirnya seakan-akan terkunci rapat dan tidak mengatakan sesuatu. Aku menunggu dengan sabar, karena keadaan seperti ini sudah biasa kualami.

“Bapakku sudah gila, bung!” ucapnya, Ucup merupakan salah satu dari penggemar berat Soekarno bahkan dalam bahasanya sehari-haripun ia kerap menggunakan bung.

“Emang kenapa?” tanyaku penuh simpati.

“Ia ingin aku mati perlahan,” aku tersentak mendengarnya.

“Nggak mungkin Cup seorang Ayah tega membunuh anaknya sendiri!”

“Aku kan sudah bilang kalau ia gila! Tanpa ku ketahui, Ibu mewasiatkan sebuah rumah yang cukup besar di Jakarta untukku, nah rumah itu akan berpindah tangan hanya dengan satu cara!”

“Apa?” aku mengerutkan dahiku.

“Nyawaku! Aku harus mengorbankan nyawaku bung!” ujarnya dengan amarah.

“Sudahlah, kamu masih kecil nggak usah mikirin kayak gitu! Serahkan saja sama uwa-mu!”

“Itu dia masalahnya bung! Uwa-ku itu sakit-sakitan, mana bisa ia membantuku! Belakangan ini aku sudah seperti buronan saja! Kapan aku bisa hidup tenang ya bung?”

“Buronan? Emang kamu nyuri apa?” tanyaku polos disambut cubitannya.

“Nyuri itu haram bung! Mana mau aku melakukannya. Maksudku Bapak terus menerus mengejarku dan memberiku beberapa makanan dna minuman!”

“Lah, bagus dong!” ucapku sok tahu.

“Makanan minuman yang bisa mempercepat kedatangan malaikat maut bung! Tadi malam ia memberiku sebuah susu, susu yang membuat kulitku seperti ini!” ia menunjukkan punggungnya yang penuh luka melepuh, bahkan ada beberapa yang mengeluarkan darah dan nanah, akupun miris melihatnya.

Bapakmu edan!” umpatku kesal, aku tidak rela melihat teman karibku diperlakukan seperti ini.

Lalu ia kembali tenggelam dalam lamunannya, dan akupun bangkit untuk mengambil buku di plastikku untuk menuliskan cerita ini, cerita duka sahabat dekatku, Ucup. Baru beberapa paragraph kutulis, anak-anak mulai berdatangan dan Ucuppun menghilang.

_00_00_00_00_00_

Matahari mulai terik, aku izin kepada Pak Guru untuk pulang membantu Ibu berdagang. Di luar sekolah, tampak dari kejauhan seorang anak menaiki sepeda dengan begitu riang.

“Butuh tumpangan?” Tanya Ucup, aku menggeleng heran akan perubahannya yang secepat ini.

“Ayolah!” rayunya dengan senyum khasnya. Aku duduk di belakangnya, dan siap untuk pergi dari sekolah kami. Ucup sedang memasang kuda-kuda lalu mengayuh sepedanya sekuat mungkin. Jalanan yang dipenuhi bebatuan membuat kami merasa seperti sedang menaiki kuda, akupun berdiri sembari melebarkan tanganku, berusaha menangkap angin sebanyak mungkin.

“Yuhuu…” teriakku lantang, Ucup hanya tersenyum geli melihat tingkahku. Namun tak lama kemudian, sebuah truk besar menghadang jalan kami. Kami terlempar jauh dari sepeda hingga, darah kental mengalir dari keningku. Jantungku berdegup begitu kencang, tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi, dan ketika ku mencari Ucup, sekitarku menjadi gelap dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

_00_00_00_00_00_

Mimi,” panggilku lirih.

Ibu menghampiriku. Mukanya tampak sayu, terlihat jelas kelelahannya dari tatapannya.

“Mi, maafin Ihsan ya Mi!” Ibuku menggeleng dan langsung memelukku, akupun makin terlarut dalam kesedihanku. Kupandangi sebuah kantong yang tergantung di sebuah tiang dengan selang kecilnya yang menjadi infus di tanganku, perban yang menutupi kepalaku membuatku sulit untuk berbicara hanya kedua matakulah yang dapat kuandalkan. Dan Ucup, bayangan anak itu langsung merasuk ke dalam pikiranku.

Aku takut, aku takut akan terjadi sesuatu yang tak kuinginkan padanya. Kupandangi Ibuku dalam-dalam dan berusaha untuk memberitahunya akan kekhawatiranku pada Ucup, Ibu mengerti maksudku dan dengan penuh ragu, ia memberiku selembar kertas.

Kupegang secarik kertas itu, dan perasaan cemas datang menyerbuku. Akupun membacanya dengan dzikir yang selalu kulatunkan, sebagai do’a agar tidak terjadi apa-apa dengannya.

Assalamualaikum

San, ini mungkin kalimat-kalimat terakhir yang bisa kusampaikan padamu

Aku nggak tahu apakah kita bisa bertemu lagi nanti

Semua penderitaan yang sejak lama ku rasakan

Harus ku akhiri sekarang

Maafkan aku ya san!

Aku belum menjadi teman terbaikmu

Tetapi kamu telah membuatku mengerti

Akan pentingnya seorang teman!

Mungkin tanpamu, aku sudah memilih untuk pergi lebih awal

Terimakasih ya san! Semoga Allah selalu menyayangimu

Kini aku akan menemui Ibu di surga dan tak bertemu lagi dengan Bapakku

Selamat tinggal Ihsan!

Wassalamu’alaikum

Nb: aku nggak mau kamu sedih karena kepergianku, kamu itu laki-laki bung! Ingat itu!

Usai membaca surat dari Ucup, aku termenung. Sahabat sejatiku satu-satunya telah meninggalkanku sendiri di sini, aku menangis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline