Kampus adalah kontributor utama pencetak koruptor. Korupsi berasal dari Bahasa latin corruption atau corruptus. Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Setiap tahun selalu ada berita pejabat publik dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terjerat kasus korupsi. Berdasarkan praktik, ada beberapa jenis-jenis korupsi yaitu penyuapan, penggelapan/pencurian, penipuan, pemerasan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kasus korupsi yang tinggi di Indonesia disebabkan karena dua faktor: sistem yang mempersulit dan budaya organisasi. Kasus korupsi sudah terjadi sejak zaman kerajaan-feodalistik dan kolonialisme sehingga saat ini korupsi menjadi budaya para pejabat di Indonesia. Birokrasi yang rumit dan budaya organisasi yang sudah tertanam di masyarakat Indonesia membuat perilaku korupsi menjadi tumbuh dan mengakar di lingkungan masyarakat dan lingkungan Perguruan Tinggi. Dari sekian banyak kasus korupsi, pelaku utama dari seorang koruptor adalah berlatar belakang seorang intelektual atau lulusan perguran tinggi. Bahkan beberapa tahun terakhir kasus korupsi melibatkan seorang pimpinan kampus (rektor).
Para bangsawan/raja-raja dan penjajah bangsa kita meninggalkan sebuah Legacy yaitu budaya korupsi yang kemudian di contoh oleh para pejabat di birokrasi dan diterapkan juga oleh masyarakat kita. Perilaku korupsi sudah terjadi di zaman kerajaan dan kolonial. Seratus tahun yang lalu, ketika Jawa masih terpecah menjadi beberapa kerajaan feodalistik. Pada periode ini rakyat efektif di perintah oleh bangsawan yang sebagai wakil raja yang mempunyai keistimewaan untuk menikmati hak patrimonial yang tidak berbeda dengan yang ada di Eropa feodal. Raja memiliki hak untuk mengumpulkan kekayaan seperti uang, emas, dll. Raja berhak mengangkat keluarganya untuk memegang posisi penting di kerajaan.
Ada beberapa praktik korupsi yang terjadi di era kerajaan misalkan saat masyarakat nusantara di tipu atau di bohongi oleh para pejabat kerajaan dengan memanfaatkan kondisi rakyat nusantara yang pada saat itu masih buta huruf dan belum berpendidikan. Modus dari Para pejabat kerajaan dalam praktik korupsi tersebut dengan menerapkan pajak yang tinggi dari yang ditetapkan oleh pihak kerajaan. Kelebihan pajak itulah yang selanjutnya dinikmati oleh para pejabat kerajaan. Sistem feodalisme memberikan seorang raja kekuasaan penuh atas tanah dan manusia di kerajaannya, namun seorang raja tidak dapat mengatur semua tanah yang ada. Maka dari itu raja memberikan hak mengelola tanah tersebut pada para bangsawan lokal yang kemudian akan menunjuk beberapa kepala desa untuk mengatur masyarakat sekitar. Kepada desa memiliki peran dalam memungut pajak, serta menerima sebagian besar dari hasil tanah yang dikerjakan oleh masyarakat awam.
Dari sistem tersebut melahirkan budaya dan perspektif di masyarakat Indonesia terkait "semakin tinggi pangkat mu maka semakin banyak juga hak yang kamu dapatkan". Dari budaya dan perspektif tersebut melahirkan sebuah tindakan korupsi yaitu gratifikasi dan suap. Seseorang yang statusnya lebih rendah akan memberikan hadiah atau persembahan yang melebihi dari yang seharusnya kepada para bangsawan dan pejabat lokal untuk mendapatkan hak atas pengelolaan tanah yang jumlahnya lebih banyak.
Praktik korupsi juga terbentuk pada masa kolonial. Berakhirnya kekuasaan kerajaan dan kedatangan gubernur jendral Belanda pada pergantian abad ke-19 mengakibatkan meluasnya praktik-praktik korupsi. Ketika regulasi dan control meluas, para penjajah menerapkan sistem upeti atas hasil bumi yang didapatkan oleh masyarakat lokal. Sistem upeti tersebut yang diterapkan di era kolonialisme diadopsi dari kebijakan di era kerajaan yang kemudian di adopsi di masa penjajahan Belanda.
Dalam aktivitas bermasyarakat kususnya di lingkungan kampus, sebenarnya rentan terjadi tindak pidana korupsi. Hal tersebut bisa terjadi karena rata-rata kampus di Indonesia tidak transparan dalam melaporkan laporan keuangan kepada civitas akademika terlebih kusus mahasiswa. Padahal, transparansi dan partisipasi publik merupakan salah satu indikator penerapan Good Governance. Mahasiswa merupakan penyumbang dana terbesar untuk kampus maka dari itu mahasiswa seharusnya memiliki hak untuk mengetahui apa saja pengeluaran kampus termasuk laporan keuangan sehingga mahasiswa bisa menilai realisasi anggaran kampus. Mengapa Perguruan Tinggi berkontribusi melahirkan koruptor?
Tingkat korupsi di Indonesia semakin meningkat, hal ini disebabkan oleh indeks persepsi korupsi Indonesia yang dari tahun ketahun mengalami penurunan. Berdasarkan data Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) pada tahun 2022 mengalami penurunan paling tajam dalam sepanjang sejarah yaitu turun sebesar 4 poin. Dari penurunan IPK tersebut, maka menyebabkan Indonesia turun ke peringkat 110 dari 180 negara, jauh dibawah beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Semakin rendah skor indeks persepsi korupsi di suatu negara maka semakin tinggi potensi terjadinya korupsi di negara tersebut. Sejauh ini Indonesia masih dibawah Singapura (83 poin), Malaysia (47 poin), Timor Leste (42 poin), Vietnam (42 poin), dan Thailand (36 poin) (Dzulfaroh, 2023).
Dari menurunnya IPK Indonesia pada tahun 2022, beberapa pelaku tindak pidana korupsi dicetak oleh kampus bahkan tindak pidana terjadi di lingkungan kampus. Berdasarkan data dari ICW yang menunjukkan bahwa pada tahun 2022 sekitar 45% dari kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melibatkan pelaku yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Angka tersebut sudah mencakup lulusan perguruan tinggi baik dalam negeri maupun luar negeri. Dari data tersebut, kita perlu merefleksikan diri mengapa lulusan perguruan tinggi menjadi penyumbang korupsi terbesar di Indonesia (Suara USU, 2023).
Dari beberapa prosentase kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, perguruan tinggi menyumbang setidaknya sebanyak 86 persen koruptor untuk negara. Banyaknya pelaku korupsi yang berlatar belakang seorang intelektual dan akademisi didasari oleh tindakan korupsi baik yang memiliki skala besar maupun kecil di lingkungan kampus. Tindakan korupsi ini dapat terjadi dalam proses rekrutmen mahasiswa, proses pendidikan, tugas akhir, penelitian, akreditasi, hingga tata kelola birokrasi. Kurangnya transparansi dan partisipasi publik (civitas akademika) dalam mengkontrol jalanya birokrasi di perguruan tinggi juga dapat membuka cela oknum akademisi melakukan tindak pidana korupsi (Hanafi, 2022).
Jika kita berbicara terkait dengan korupsi maka berkaitan dengan akutalisasi diri yaitu integritas. Integritas merupakan representasi dari moral dan etika individu. "Dalam hukum seseorang dikatakan bersalah apabila dirinya melanggar hak orang lain sementara dalam etika seseorang dikatakan bersalah apabila dirinya memikirkan atau memiliki niat untuk melanggar hak orang lain", hal tersebut diungkapkan oleh salah satu filsuf Imannuel Kant terkait dengan konsep etika dan hukum. Dari teori tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa ketika kita atau seoseorang tidak melakukan tindak pidana korupsi juga belum tentu kita memiliki integritas yang baik. Bisa jadi kita tidak melakukan tindakan tersebut tapi kita punya niatan atau pemikiran untuk merampas hak orang lain. Etika dan moralitas seseorang juga tidak bisa dilihat dari angka ketaatan hukum, karena etika bisa di nilai apabila individu tersebut dengan sadar dan tanpa ada paksaan atau tekanan dalam melakukan tindakan. Ketika kita tidak korupsi karena takut dipidana berarti unsur tekanan sudah mengintervensi alam bawah sadar kita, dan penilaian atas seberetika individu tersebut sudah tidak ada.