Lihat ke Halaman Asli

Tidak Lain Ini adalah Cerita dari Lyotard dalam Perjalanannya menuju Postmodern

Diperbarui: 5 Januari 2024   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jean Francois Lyotard adalah seorang filsuf poststrukturalisme (gagasan yang muncul akibat ketidakpuasan terhadap pemikiran sebelumnya yakni strukturalisme) namun pada akhirnya beliau lebih dikenal sebagai salah satu tokoh pemikir penting aliran filsafat postmodernisme yang terkenal dengan gagasannya tentang penolakan grand narrative (narasi besar), yaitu suatu narasi besar yang mempunyai fungsi legitimasi karena bersifat menyatukan, universal dan total.

Dalam karyanya yang pertama Lyotard memperkenalkan fenomenologi melalui karya Edmund Husserl, secara keseluruhan, Lyotard prihatin dengan upaya fenomenologi untuk menemukan “jalan ketiga” antara subjektivisme dan objektivisme, dengan menghindari masalah masing-masing. Namun pada akhirnya meskipun ia melihat kegunaan fenomenologi dalam banyak disiplin ilmu Lyotard menyimpulkan bahwa kegunaan fenomenologi bagi Marxisme sebagian besar bersifat negatif. 

Dan lyotard menolak upaya fenomenologi untuk menemukan jalan ketiga antara subjektivisme dan objektivisme. Selanjutnya, dalam jangka waktu lima belas tahun antara dua buku filsafatnya, Lyotard mengabdikan seluruh upaya menulisnya untuk tujuan politik revolusioner. Dalam esainya tentang Aljazair, Lyotard menerapkan proyek Socialisme ou Barbarie (menyediakan sumber daya teoretis untuk berkontribusi pada revolusi sosialis). Namun, hasil akhir dari karya Lyotard mengenai Aljazair dan kekecewaan atas kegagalan revolusi sosialis membawanya meninggalkan sosialisme revolusioner dan Marxisme tradisional dengan alasan bahwa realitas sosial terlalu rumit untuk digambarkan secara akurat dengan wacana utama mana pun. 

Dan karya yang terakhirnya yaitu Buku filsafat yang kedua, Ini mencakup berbagai topik, termasuk fenomenologi, psikoanalisis, strukturalisme, puisi dan seni, dialektika Hegel, semiotika, dan filsafat bahasa. Namun, tujuan utama karya ini adalah kritik terhadap strukturalisme, khususnya sebagaimana ia diwujudkan dalam psikoanalisis Lacan. 

Buku ini dibagi menjadi dua bagian, pada bagian pertama menggunakan fenomenologi Merleau-Ponty untuk melemahkan strukturalisme, dan bagian kedua menggunakan psikoanalisis Freudian untuk melemahkan psikoanalisis Lacanian dan aspek-aspek fenomenologi tertentu. Lyotard mengawali dengan pertentangan antara wacana , yang berkaitan dengan strukturalisme dan teks tertulis, dan figur (gambaran visual), yang berkaitan dengan fenomenologi dan penglihatan. 

Dia berpendapat bahwa pemikiran konseptual yang terstruktur dan abstrak telah mendominasi filsafat sejak Plato, merendahkan pengalaman sensual. Namun, Kesalahan strukturalisme adalah menafsirkan figural dalam istilah yang sepenuhnya diskursif, mengabaikan berbagai cara di mana elemen-elemen tersebut beroperasi. Di bagian kedua Discours, figur , struktur, dan pelanggaran dikaitkan dengan kekuatan libidinal Freudian, membuka jalan bagi filosofi libidinal yang dikembangkan dalam Ekonomi Libidinal .

Ekonomi Libidinal adalah pekerjaan yang tidak biasa dan sulit, dan mencakup serangkaian teori kompleks mengenai politik, ekonomi, teori, gaya akademis, dan bacaan Marx dan Freud. Buku ini ditulis dalam kombinasi gaya yang membingungkan (terkadang bacaannya lebih mirip novel avant-garde daripada teks filosofis), sebuah metode yang digunakan Lyotard dalam upaya mengatasi keterbatasan yang ia lihat dalam teori akademis tradisional. Filsafat libidinal memulai komitmen umum Lyotard terhadap ontologi peristiwa, yang juga mendasari filsafat postmodernnya di kemudian hari. Lyotard melihat realitas dalam kaitannya dengan kejadian (peristiwa) yang tidak dapat diprediksi, bukan keteraturan yang terstruktur. Peristiwa-peristiwa ini dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda, dan tidak ada interpretasi tunggal yang dapat menangkap peristiwa-peristiwa tersebut secara akurat. Peristiwa selalu melampaui interpretasi; selalu ada sesuatu yang “tersisa” yang tidak diperhitungkan oleh penafsiran. Deskripsi Lyotard tentang transformasi kelompok libidinal adalah sebuah fiksi teoretis yang memberikan penjelasan tentang bagaimana dunia bekerja melalui interaksi energi libidinal yang intens dan bersemangat serta struktur stabil yang mengeksploitasinya dan meredam intensitasnya. Contohnya adalah cara lembaga-lembaga politik menyalurkan keinginan untuk mengubah masyarakat dari gejolak yang penuh kekerasan dan disruptif ke arah tindakan yang lebih moderat dan tidak terlalu disruptif. Ekonomi Libidinal adalah salah satu upaya untuk melakukan hal seperti dengan mengalikan genre wacana, tidak ada struktur dominan secara keseluruhan dalam teks dan terbuka untuk beberapa mode pembacaan, interpretasi, dan penerapan yang bersaing. Pada akhirnya, filsafat libidinal menyarankan metode subversi dari dalam struktur yang ada melalui eksperimen terhadap bentuk-bentuk struktur tersebut.

Lyotard meninggalkan filosofi libidinalnya pada tahun-tahun akhir tahun tujuh puluhan, memulai filsafat paganisme yang berkembang, pada tahun delapan puluhan, menjadi versi unik postmodernisme. “postmodernisme” adalah istilah yang sangat kontroversial. Di satu sisi hal ini, telah memikat minat masyrakat luas, namun di sisi lain dianggap sebagai mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan sosial yang kini sedang berlangsung. Istilah “postmodernisme” muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada 1960-an dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa pada 1970-an. Salah satunya, Jean-François Lyotard, dalam bukunya, The Postmodern Condition:A Report on Knowledge, menyerang mitos yang melegitimasi jaman modern (“narasi besar”), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal sahih untuk seluruh umat manusia. Kondisi Postmodern adalah studi tentang status pengetahuan dalam masyarakat yang terkomputerisasi.

Lyotard percaya bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan penalaran yang mentotalisasi karena penalaran itu tidak ada, yang ada adalah berbagai macam penalaran. Lyotard melihat bahwa filsafat sebagai pemaksaan kebenaran. Ia melawan Marxisme karena Marxisme dipandang sebagai salah satu “narasi besar”. Lalu Lyotard menyarankan untuk kembali ke “pragmatika bahasa” ala Wittgenstein, yaitu mengakui saja bahwa kita memang hidup dalam berbagai permainan bahasa yang sulit saling berkomunikasi secara adil dan bebas. Lyotard menyebut perubahan yang terjadi pada status pengetahuan saat ini merupakan akibat yang muncul dari kriteria performativitas sebagai merkantilisasi pengetahuan. Dalam era postmodern, pengetahuan telah menjadi komoditas yang dapat dijual. Pengetahuan diproduksi untuk dijual, dan dikonsumsi untuk mendorong produksi baru. Menurut Lyotard, pengetahuan pada masa postmodernitas sebagian besar telah kehilangan nilai kebenarannya, atau lebih tepatnya, produksi pengetahuan bukan lagi sebuah aspirasi untuk menghasilkan kebenaran. Saat ini siswa tidak lagi bertanya apakah sesuatu itu benar, tetapi apa gunanya bagi mereka. Lyotard percaya bahwa komputerisasi dan legitimasi pengetahuan berdasarkan kriteria performativitas menghilangkan gagasan bahwa penyerapan pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari pelatihan pikiran. Dalam waktu dekat, ia memperkirakan, pendidikan tidak lagi diberikan secara “enblok” kepada masyarakat di masa muda sebagai persiapan hidup. Sebaliknya, ini akan menjadi proses berkelanjutan untuk mempelajari informasi teknis terkini yang penting bagi fungsi mereka dalam profesi masing-masing.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline