Sore menjelang. Kicau burung bersahutan. Hari ini tak nampak tanda-tanda hujan kan membasahi bumi. Angin sepoi-sepoi membuat orang-orang betah berlama-lama di bawah pohon belimbing.
Dari kejauhan seorang pria setengah baya bersepeda sambil membentangkan kedua tangannya. Kedua mata terpejam mengarah ke atas awan. Mulut besarnya komat-kamit mendendangkan lagu “Ku tak bisaa….. Jaauh darimuuuuu…”
“Wel… Loe lihat dah ! Si Jabrik bukan itu?.” Ujar Pitak menjawil Nowel yang sedang makan buah belimbing.
“Widiiiihh..!” Timpal Nowel sambil memonyongkan kedua bibir dan mengucek kedua matanya.
“Jabrik, mau kemana? Mampir sini !” Teriak Pitak saat Jabrik melintas di depan kebun belimbing, tempat Pitak dan Nowel berteduh.
“Woy… Ngga aah, Gua mau ke warung mpok Ati !” Jabrik mempercepat laju sepedanya dengan memeletkan lidah,” Hahahaha.. Daaah…!”
“Aaaah… Payah ga asyik !” Celetuk Nowel sambil melempar belimbing busuk ke arah Jabrik
**
Di sudut kampung, terdapat warung kopi. Beragam latar belakang pengunjung datang untuk singgah di warung ini. Dari pagi, hingga malam selalu penuh dipadati pelanggan terutama oleh supir angkot.
Pedagangnya adalah seorang janda. Baru punya anak satu, kelas dua SD. Para pengunjung biasa memangginyal Mpok Ati. Konon kabarnya, ia menjanda sebab sang suami meninggal karena terkena santet seorang dukun yang sakit hati karena tak mampu memiliki Mpok Ati.
Warung Mpok Ati selalu ramai. Entah pakai ‘ajian’ apa sehingga orang pada rela jajan dan berlama-lama di warungnya. Padahal isi dagangannya standar warung pinggir jalan. Ada kopi, teh manis, Indomie rebus, gorengan, rokok, plus jamu-jamuan. Tak ada dagangan yang istimewa.