Lihat ke Halaman Asli

Cerita Rusdin, Remaja Mantan TKI Ilegal di Malaysia

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rusdin namanya. Usianya baru 19 tahun. Kali pertama kami bertemu dalam workshop Indonesian Youth Media Camp (IYMC) 2008 di Yogyakarta yang pesertanya terdiri dari 31 remaja dari berbagai komunitas se-Indonesia. Rusdin sendiri berasal dari sebuah kampung di Kaledupa, Sulawesi Tenggara. Ia adalah sosok remaja yang humoris, periang, dan mudah bergaul.

Pertengahan November lalu, secara tidak kebetulan kami bertemu lagi. Dian Herdiany, direktur Kampung Halaman, yayasan yang menyelenggakaran workshop IYMC, menelepon saya. Ia menjelaskan bahwa Kampung Halaman akan mengadakan proyek dokumenter mengenai perjalanan pulang Rusdin ke kampung halamannya Kaledupa setelah bekerja selama sembilan bulan sebagai TKI ilegal di Malaysia. Saya diajak karena kapal yang ditumpangi Rusdin dari Nunukan akan transit di Makassar. Saya mengiyakan tanpa pikir lama karena memang sudah lama saya ingin ke Wakatobi, apalagi Pulau Hoga setelah melihat liputan Riyanni Djangkaru dalam program tv Jejak Petualang.

Sebelumnya, Rusdin sudah menelepon saya lebih dulu. Namun ia hanya menanyakan kabar dan memberitahukan bahwa sebentar lagi ia akan pulang. Saya memang sudah tahu bahwa ia berada di Malaysia. Namun setelah mendengar penjelasan Mbak Dian, saya sontak kaget mengetahui bahwa ternyata Rusdin bekerja sebagai TKI ilegal di sana. Suatu waktu, Rusdin pernah menelepon saya dari Malaysia. Ia mengabarkan bahwa saat itu ia berada di Kuala Lumpur bersama teman-teman seorganisasinya, Forkani, untuk suatu kegiatan sosial.

***
Malam minggu 21 November 2009 sekitar pukul 10.00 lebih, saya menjemput Rusdin di pelabuhan Makassar bersama Zery, utusan Kampung Halaman yang akan bertugas sebagai juru kamera. Zery juga sudah kami kenal sejak di Jogja. Waktu itu, dia dokumentator selama workshop IYMC. Dia sudah tiba di Makassar sejak pukul 11 siang harinya.

Saat bertemu Rusdin di pelabuhan yang suasananya saat itu sudah sepi, saya lumayan kaget melihat beberapa perubahan pada diri Rusdin. Kulitnya semakin putih dan badannya nampak agak lebih gemuk. Hanya anak-anak jerawat di pipinya saja yang tidak berkurang. Namun menurut Zery, Rusdin tidak ada perubahan dalam bobot badannya. Entahlah siapa yang benar karena kami berdua sama-sama melihatnya dengan mata mengantuk oleh rasa capek setelah membahas mengenai proses syuting dan jalan-jalan sore memperkenalkan Zery tentang sekitar rumahku, Pasar Terong dan Masjid Al-Markaz yang letaknya tepat di depan area pasar sambil menunggu kedatangan Rusdin.

Setelah menjemput Rusdin, dengan menumpang taksi yang sama, kami mencari tempat makan. Rencananya, saya ingin mengajak mereka menikmati Coto Nusantara yang sangat terkenal di Makassar. Namun Pak Supir memberitahu bahwa warung yang terletak di Jalan Nusantara, yang sebenarnya bisa ditempuh dengan jalan kaki dari pelabuhan, biasanya sudah tutup pukul 2 siang. “Begitu dek, kan warungnya laku keras, makanya makanannya cepat habis dan cepat tutup juga” jelasnya sambil menyupir santai. Sebenarnya saya tahu, namun saya lupa akibat terlalu lelah dan sangat mengantuk.

Saya kemudian menyuruh Pak Supir menuju Coto Gagak di Jalan Gagak. Saya ingin sekali mereka mencoba aroma coto langsung di Makassar. Rusdin juga mengaku belum pernah mencicipi. Namun lagi-lagi tidak jadi karena lumayan jauh jaraknya. “Cari tempat makan yang dekat-dekat sini saja” ujar Zery tidak sabar. Saya tahu dia juga kecapekan dan didera kantuk. Akhirnya kami singgah di restoran Mi Titi di Jalan Irian, kurang lebih 3 menit menumpang taksi dari pelabuhan.

Setelah makan, kami langsung pulang ke rumahku. Kali ini dengan taksi yang berbeda. “Rumahmu jauh tidak, Fik, dari sini?” tanya Rusdin yang duduk di samping saya di jok belakang sambil melihat-lihat kota Makassar menjelang tengah malam dari balik jendela taksi. Saat saya menoleh melihatnya, rasa lelah dan ingin segera istirahat tergambar jelas dari mukanya. “Tenang aja, bentar lagi kok. Paling lima menit. Capek ya, Din?” sambil tersenyum saya bertanya meski sudah tahu jawabannya. Di jok depan samping supir, Zery hanya duduk diam setelah sibuk menggeluti kamera.

Niat Awal ke Malaysia dan Jalur Ilegal

Setiba di rumahku, kami ingin segera tidur. Namun Rusdin terlanjur cerita mengenai alasannya ke Malaysia dan bagaimana ia bisa sampai ke negeri jiran itu. Terpaksa kami menunda niat awal selama kurang lebih satu jam. Zery pun melaksanakan tugasnya merekam percakapan saya dengan Rusdin.
Rusdin lahir pada 12 Juli 1990 di Malaysia. Ayahnya orang asli Buton Wakatobi, sementara ibunya asli Malaysia. Keduanya bertemu ketika Pak Rahidun, ayah Rusdin bekerja di sebuah kapal pengangkut komoditi ekspor yang sering berlayar hingga ke perairan Malaysia. Mereka kemudian menikah dan menetap di sana. Ketika Rusdin masih balita, keduanya bercerai. Konon karena Ibu Sitti,ibu kandung Rusdin main serong dengan seorang lelaki yang kini jadi suaminya.

Setelah melalui proses pengadilan, hak asuh anak diputuskan jatuh ke tangan Pak Rahidun. Setelah bercerai, beliau membawa Rusdin pulang kembali ke Wakatobi. Di sana beliau menikah lagi dan sekarang memilki empat orang anak yang masih kecil-kecil, saudara saudari tiri Rusdin. Anak tertua duduk di kelas 6 SD. Sejak kepindahan mereka kembali ke Indoneisa, Rusdin tidak pernah lagi bertemu ibu kandungnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline