Lihat ke Halaman Asli

Literasi Digital Sebagai Alat Pencegah Hoaks di Era Informasi Berlebih

Diperbarui: 29 Oktober 2024   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernahkah Anda terjebak dalam pusaran hoaks yang beredar di media sosial? Atau mungkin Anda pernah tanpa sengaja ikut menyebarkan informasi yang ternyata tidak benar? Di era digital yang serba cepat ini, kita dimanjakan dengan kemudahan akses informasi. Namun, di balik kemudahan itu, tersimpan ancaman yang serius: hoaks. Informasi palsu yang tersebar luas di media sosial telah menjadi masalah global. Menurut liputan6.com , lebih dari 60% pengguna internet pernah percaya atau membagikan hoaks. Angka ini menunjukkan betapa pentingnya kita meningkatkan literasi digital untuk melawan penyebaran informasi yang salah. Hoaks bukan sekadar berita bohong yang menghibur. Informasi palsu dapat menimbulkan dampak yang sangat serius, mulai dari perpecahan sosial hingga kerugian ekonomi. Berita bohong tentang vaksin, misalnya, dapat menyebabkan penurunan tingkat imunitas masyarakat dan memicu wabah penyakit. Literasi digital menjadi tameng yang ampuh untuk melindungi kita dari dampak negatif hoaks. Dengan meningkatkan kemampuan kita dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menangkal hoaks, kita dapat menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan produktif. Artikel ini akan membahas berbagai tips dan trik untuk meningkatkan literasi digital Anda, seperti cara memeriksa kebenaran informasi, mengenali ciri-ciri berita bohong, dan menjadi netizen yang kritis.

Pengertian Hoax

  • Menurut KBBI
  • Menurut KBBI, hoaks adalah sebuah informasi bohong. Menurut KBBI para pelaku penyebaran hoaks mengumpulkan berita yang lalu lala di banyak milis.
  •  Menurut Septiaji Eko Nugroho
  • Ketua Komunitas Masyarakat Indonesia Anti Fitnah, Septiaji Eko Nugroho menjelaskan bahwa hoaks adalah sebuah informasi yang direkayasa. Informasi tersebut dibuat untuk menutup-nutupi informasi yang sebenarnya. Selain itu, hoaks juga merupakan upaya untuk memutar balikan fakta. Fakta tersebut akan diganti dengan informasi-informasi yang meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
  • Menurut Profesor Muhammad Alwi Dahlan
  • Ahli komunikasi dari Universitas Indonesia, Profesor Muhammad Alwi Dahlan yang juga merupakan mantan Menteri Penerangan mengungkapkan pendapatnya mengenai hoaks dan berita bohong biasa. Letak perbedaan diantara keduanya yaitu hoaks adalah sebuah sesuatu yang disengaja atau sudah direncanakan.

Cara Meneriksa Kebenara Informasi

  • Cari tahu sumbernya lebih lanjut 
  • Jika Anda menemukan artikel atau cerita mengejutkan dari situs web yang sama sekali belum pernah Anda dengar, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengecek apakah sumbernya itu valid atau tidak.
  • Lihat berita sekitar
  •  Jangan terpaku hanya pada satu sumber. Lihat bagaimana dan apakah situs berita lainnya juga mewartakan peristiwa yang sama sehingga Anda bisa mengetahui gabaran besar dari peristiwa tersebut.
  • Tanyakan pada sumbernya langsung
  • Cara ini mungkin merupakan cara yang paling ampuh untuk terhindar dari hoax yaitu tanyakan langsung pada orangnya atau sumbernya supaya tahu kebenarannya. Lantas, bagaimana sih ciri-ciri berita hoax itu sendiri? Berikut penjelasannya

Ciri-ciri berita hoax

  • Menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan.
  • Sumber tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi.
  • Pesan sepihak, menyerang, dan tidak netral atau berat sebelah.
  • Mencatut nama tokoh berpengaruh atau pakai nama mirip media terkenal.
  • Memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat.
  • Judul dan pengantarnya provokatif dan tidak cocok dengan isinya.
  • Memberi penjulukan.
  • Minta supaya di-share atau diviralkan.
  • Menggunakan argumen dan data yang sangat teknis supaya terlihat ilmiah dan dipercaya.
  • Artikel yang ditulis biasanya menyembunyikan fakta dan data serta memelintir pernyataan narasumbernya.
  • Berita ini biasanya ditulis oleh media abal-abal, di mana alamat media dan penanggung jawab tidak jelas.
  • Manipulasi foto dan keterangannya. Foto-foto yang digunakan biasanya sudah lama dan berasal dari kejadian di tempat lain dan keterangannya juga dimanipulasi.

 

  • Untuk pembahasan lebih lanjut akan dibahas dalam penelitian di bawah ini:

METODE PENELITIAN 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendalami peran literasi digital dalam pencegahan hoaks di era informasi berlebih. Pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap pengalaman dan persepsi individu mengenai literasi digital. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif terhadap para pengguna internet aktif yang memiliki pengalaman dengan konten digital yang berpotensi hoaks. Selain itu, survei daring juga dilakukan untuk melibatkan responden dalam skala yang lebih luas. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis isi untuk mengidentifikasi pola-pola tertentu dalam persepsi, pemahaman, dan praktik literasi digital yang digunakan dalam mengidentifikasi dan mencegah hoaks. Sampel penelitian terdiri dari pengguna internet aktif yang berusia antara 18-40 tahun, dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang beragam, sehingga dapat memberikan perspektif yang kaya mengenai peran literasi digital. Instrumen yang digunakan meliputi pedoman wawancara dan kuesioner yang dirancang untuk mengeksplorasi pemahaman dan keterampilan literasi digital dalam konteks penyaringan informasi dan pencegahan hoaks.

 

HASIL PENELITIAN

 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pemahaman dasar mengenai literasi digital, tetapi tingkat pemahaman yang mendalam terkait evaluasi informasi dan identifikasi hoaks masih bervariasi. Beberapa responden memahami pentingnya memverifikasi sumber informasi, namun sebagian besar masih sering terpapar hoaks karena keterbatasan dalam teknik evaluasi sumber. Sebanyak 65% responden melaporkan telah memiliki kemampuan untuk mengenali tanda-tanda umum dari hoaks, seperti adanya judul yang sensasional, sumber yang tidak jelas, dan konten yang provokatif. Namun, hanya 30% yang aktif memeriksa kebenaran informasi melalui situs pemeriksa fakta atau sumber resmi lainnya. Media sosial terbukti menjadi saluran utama bagi penyebaran informasi, termasuk hoaks. Responden menyebutkan bahwa platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp, sering kali menjadi sumber hoaks. Namun, responden yang memiliki pemahaman literasi digital yang lebih tinggi cenderung lebih selektif dan skeptis terhadap informasi yang ditemukan di media sosial. Penelitian juga menemukan bahwa beberapa kendala dalam meningkatkan literasi digital adalah kurangnya akses terhadap sumber edukasi yang tepat, rendahnya kesadaran akan pentingnya literasi digital, dan keterbatasan waktu untuk melakukan pengecekan fakta.

PEMBAHASAN

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline