Lihat ke Halaman Asli

Fikri Zakia Qoimul Haq

Pendidik, Konsultan Pendidikan, Parenting

Bapak, Petani yang Magister

Diperbarui: 19 Januari 2024   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.predikatnews.com

Mulailah dari dirimu sendiri, bukan orang lain. Kamu sedang menghadapi dirimu sendiri. (Fikri Zakia)

Bapak saya memiliki pekerjaan menjadi seorang Petani di sebuah kota kecil di Jawa timur. Memiliki beberapa petak sawah dan menyewa beberapa petak sawah. Bapak saya merupakan lulusan S2 Manajemen Agribisnis di sebuah kampus swasta. Bapak saya tidak pernah malu untuk menjadi Petani meski telah memiliki gelas Magister. Justru Bapak saya semakin percaya diri, karena menurutnya semua pekerjaan harus dilakukan secara profesional agar memiliki hasil yang maksimal.

Pola pikir inilah yang akhirnya saya bawa hingga saat ini. Menjadikan Bapak sebagai role model dalam dunia belajar saya, terutama dalam belajar di perguruan tinggi. Jika kita menengok kembali tenang Bapak saya yang seorang Petani sayur, maka kita akan berpikir bagaimana bisa seorang petani bergelar Magister. Padahal jika kita melihat Petani hari ini, mereka lulus SD atau bahkan tidak sekolahpun bisa menjadi Petani. Maka pendekatan Bapak saya ada yang berbeda dengan pendekatan Petani yang lain. 

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan ilmiah berbasis penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Bapak dengan berbagai cara yang selama ini beliau pelajari secara praktik di lapangan dan ketika berada di bangku perguruan tinggi. Tentu sangat berbeda dengan Petani yang tidak pernah makan bangku perguruan tinggi. Dengan begitu Bapak saya mengatakan bahwa beliau mengalami lompatan-lompatan dalam karirnya sebagai Petani dikarenakan pernah makan bangku perguruan tinggi.

Banyak yang menganggap buat apa kuliah S2 jika nanti ujung-ujungnya menjadi orang yang biasa-biasa saja. Banyak juga yang menganggap ngapain sekolah tinggi-tinggi, kalau ada orang lulusan SMP bahkan SD bisa sukses. Pola pikir yang seperti inilah seharusnya dihindari oleh kita sebagai insan pemikir. Pemikir yang berfikir untuk masa depan diri kita sendiri, masa depan bangsa dan masa depan agama.

Meraih pendidikan tinggi bukan masalah gengsi, tapi lebih kepada mendalami passion yang ada dalam diri kita. Semakin kita menyelami kehidupan dan profesi kita, maka kita juga akan menangkap pelajaran tentang pentingnya pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi juga bukan soal gelar, tapi soal kesadaran tentang pentingnya diri kita berkembang dan bertumbuh. Berkembang dan bertumbuh sesuai apa yang ada dipikiran kita dan akan menjadi sebuah pola pikir.

Dibawah ini adalah pola pikir dan semangat yang selama ini saya tanamkan tentang semangat meneruskan ke jenjang Pascasarjana.

1. Semangat Menumbuhkan Pola Pikir

Dunia akademisi merupakan penentu kemajuan dalam sebuah bangsa. Kita tahu banyak negara maju dan sebab kemajuannya karena banyak akademisi yang produktif. Sejarah juga mencatat demikian, bahwa dari era manusia hadir di dunia semua adalah pola pendidikan yang akademis. Dengan kita merasakan bangku perguruan tinggi menjadi langkah awal lebih maju dari orang lain. Pola pikir antara orang-orang yang mencicipi bangku perguruan tinggi dengan yang tidak tentunya juga berbeda. 

2. Semangat Membangun Relasi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline