Lihat ke Halaman Asli

fikri syah

Menari Dengan Literasi

Surat Cinta untuk Diri Sendiri, Manifestasi Kebahagiaan yang Terabaikan

Diperbarui: 10 Juli 2024   03:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diolah pribadi

"Wahai waktu yang tak bisa diulang dan demi zaman yang semakin berkembang, apakah kita sudah mencintai diri sendiri?"

Tentu, ini bukan pertanyaan yang sering muncul di benak kita saat sedang berusaha memperbaiki kehidupan atau sedang berusaha melupakan masalah yang menumpuk. Namun, mungkin sudah saatnya kita menyingkirkan segala gangguan dan benar-benar memikirkannya.

Cinta, oh cinta! Manifestasi pikiran yang sudah tertanam dalam diri setiap manusia, memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap individu. Cinta tak ubahnya seperti dopamin yang mengalir di otak kita, merangsang kebahagiaan dan membuat hidup terasa lebih menyenangkan. Tapi, sayangnya, kita lebih sering membayangkan cinta dalam konteks romansa yang sempurna seperti yang kita lihat di dongeng, buku-buku romantis, dan film-film cinta. Ya, dua insan yang memadu kasih dengan akhir cerita yang bahagia.

Betapa menyenangkannya melihat drama percintaan di mana pasangan bertukar surat-surat manis dan puisi-puisi indah. "Kau adalah belahan jiwaku, aku tidak bisa hidup tanpamu," kata-kata klise yang lumrah dalam setiap drama percintaan. Ah, betapa mudahnya kita terbawa suasana oleh cerita-cerita romantis yang dikemas dengan drama-drama indah. Sayangnya, realitas sering kali jauh berbeda.

Kenyataan pahit yang harus kita terima adalah terkadang kita mampu mencintai seseorang dengan sepenuh hati, tetapi lalai mencintai diri sendiri. Tubuh yang kita miliki, ruh yang masih bersemayam dalam tubuh kita semuanya adalah bentuk cinta yang bisa kita rasakan dengan nyata. Namun, kita sering lupa akan hal ini. Mencintai diri sendiri adalah manifestasi untuk bisa menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan. Mengapa? Karena saat kita mencintai diri sendiri, kita bisa menyerap makna cinta yang sesungguhnya dari luar.

Bukankah sudah waktunya kita berhenti sejenak dan mulai mencintai diri sendiri? Mencintai diri sendiri adalah kewajiban mutlak dan harus kita lakukan karena semua ini tentang diri kita sendiri, bukan orang lain. Orang lain hanyalah refleksi dari diri kita. Ketika kita memancarkan cinta dari dalam diri, maka cinta dari orang lain akan datang dengan sendirinya. Pantas atau tidak, baik atau buruk, kita punya hak untuk memilih.

Sekarang, mari kita menulis surat cinta untuk diri sendiri. Ya, tulislah surat cinta, meskipun terdengar konyol. Mulailah mencintai dirimu dengan utuh tanpa prasangka buruk. Bersetubuhlah dengan prasangka baik bahwa diri ini layak dicintai oleh diri kita sendiri, bukan untuk dimusuhi, disalahkan, atau disesali. Berterima kasihlah pada tubuhmu dan dirimu yang sampai detik ini masih menemani pikiran sadar kita dalam menjalani kehidupan yang penuh cobaan dan derita ini.

"Dear Diriku, terima kasih atas kerja kerasmu dalam menjalani kehidupan ini. Maafkan aku yang sering mengeluh dan tidak bersyukur atas jasad yang sudah menemani semenjak dalam kandungan. Terima kasih tubuh, terima kasih diriku. Kehidupan ini tidak mudah kita taklukkan dan tidak mudah untuk dilewati, namun dirimu selalu ada, melebihi siapapun."

Ah, pujian-pujian dan kata-kata indah yang seharusnya ditujukan hanya untuk diri ini yang sudah setia menemani tanpa sedikit pun langkah untuk meninggalkan. Wahai diriku, aku mencintaimu, aku menyayangimu. Mari berjalan bersama mengiringi kehidupan yang singkat ini. Maafkan aku selama ini merusak dirimu dengan amarah, emosi, iri, dan dengki. Teruntuk tubuhku, maafkan aku selama ini malas berolahraga dan selalu memakan makanan yang tidak sehat. Maafkan aku.... maafkan aku... aku mencintaimu, aku menyayangimu...."

Seperti itulah seharusnya kita memperlakukan diri sendiri dengan cinta dan penghargaan. Namun, di zaman yang semakin berkembang ini, kita terlalu sibuk mengejar segala sesuatu di luar diri kita, sampai lupa memberi perhatian pada yang ada di dalam. Bukankah ironis? Kita menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin untuk memastikan penampilan kita sempurna, tetapi mengabaikan kebutuhan emosional dan mental kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline