Lihat ke Halaman Asli

Lingkaran Setan Industri Kehutanan (Part #2: Dinamika Kehutanan di Indonesia)

Diperbarui: 9 Oktober 2024   20:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kerusakan hutan (Picography-pixabay)

MAMAN RESIN PRESENT

Written by: 3R SSID Himasiltan IPB (team)

Industri hasil hutan adalah industri pengelolaan hasil hutan yang memangku izin resmi yang bertugas meningkatkan nilai hasil hutan itu sendiri serta membuka lapangan pekerjaan. Industri ini terbagi menjadi kayu dan non kayu. Industri hasil hutan kayu  bertugas mengolah kayu bulat atau kayu bulat kecil menjadi barang jadi atau setengah jadi. Sedangkan industri hasil hutan bukan kayu bertugas mengolah hhbk menjadi barang jadi atau setengah jadi. Untuk membuat sebuah industri hasil hutan diperlukan izin usaha (PHPB) yang dibuat oleh lembaga berwenang dan diberikan kepada pemegang izin melalui skema multiusaha kehutanan dalam satu perizinan saja. Industri hasil hutan juga terbagi menjadi skala besar dan skala kecil berdasarkan kriteria yang ditentukan seperti jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, kapasitas mesin. 

Artikel ini akan membahas tidak berkembangnya industri hasil hutan dari beberapa aspek. Pembahasan akan dimulai dari sejarah pengelolaan industri hasil hutan dari masa lampau hingga masa kini yang telah melewati beberapa tahap namun belum perkembangan yang signifikan. Longgarnya regulasi, ketersediaan bahan baku, kualitas sumberdaya manusia, dan ketersediaan pasar akan dibahas dalam artikel ini dimana faktor tersebut dirasa penting dan berpengaruh terhadap perindustrian hasil hutan. Jadi, bagaimana keberlanjutan industri hasil hutan di masa depan?

  • Masa Orde Baru

Awal orde baru masa soeharto diberlakukan kebijakan paradigma “pembangunan ekonomi”. Dalam sektor kehutanan dimana pemerintah mendapatkan devisa asing yang besar dan menciptakan lapangan kerja. Salah satu kebijakan pemerintah yaitu melancarkan kebijakan sektor swasta untuk menebang dan mengekspor log berdasarkan UU No.1/1967. dari Undang-Undang tersebut eksploitasi penebangan kayu oleh konsesi HPH sangat cepat di tahun 1970-an. Namun pemerintah tidak mengakui hak-hak hutan adat masyarakat lokal yang sering terjadi konflik lahan hutan antara pemilik modal dalam negeri dan asing dengan masyarakat, akhirnya pengadilan memenangkan perkara konflik lahan buat para pedagang kuat. Industri kayu melakukan konsolidasi pada periode 1980-an ketika ekspor log dilarang oleh pemerintah tahun 1985. implikasi dari kebijakan ini menciptakan perusahaan kayu secara vertikal terintegrasi dan terkonsentrasi dalam produksi plywood. Adapun kerusakan hutan dari aktivitas konsesi HPH mencapai keseluruhan sekitar 16,6 juta hektar pada pertengahan tahun 1998. Faktor-faktor melatarbelakangi kerusakan hutan adalah pemanfaatan besar-besaran untuk produksi, konversi lahan untuk tanaman kelapa sawit, areal transmigrasi, pertambangan, praktek illegal logging, perladangan berpindah dan sebagainya.

Masalah yang mendesak mengenai kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia berhubungan dengan pengelolaan yang salah atas ekspektasi hutan yang menunjukkan korelasi indikator antara lain kelengahan atas pengeluaran hutan diantara aktor pelaku langsung dan aktor ini tidak memperhatikan pentingnya tabiat manusia dengan lingkungan dan mereka gagal untuk mengintegrasikan sistem hubungan manusia dengan alam. Dalam konteks pengusaha lokal dan tradisional yang mempunyai konsentrasi HPH dan industri kayu, kebanyakan mereka tidak mempunyai profesionalisme dan kurang mempunyai rasa tanggung jawab atas prinsip pengelolaan hutan yang lestari. mereka memotong kayu bulat tanpa melakukan kembali program replanting serta melemahkan kesejahteraan masyarakat lokal yang pada akhirnya mereka termaginalisasi sosial ekonominya. Fenomena ini telah menciptakan korupsi dan kolusi di mana elit birokrat kehutanan pusat memberi izin konsensi HPH kepada penguasa swasta khususnya kelompok keturunan Cina dan yayasan kelompok militer tidak berdasarkan profesionalisme dan lemahnya kontrol dan sanksi tegas atas peraturan kehutanan.

Pengelolaan hutan pada masa Soeharto berimplikasi kerusakan hutan atas masalah-masalah lingkungan dari perspektif politik lingkungan sejalan dengan bagaimana masyarakat lokal menanggapi pengenalan hutan lalu pergerakan aktor pelaku pengelolaan hutan, apakah negara pengurusan swasta lembaga keuangan internasional penting untuk melengkapi posisi pendapatnya atas pengeluaran hutan yang berbasis konsep pelestarian. Dalam hubungan ini perusahaan swasta diizinkan untuk mengoperasionalkan kegiatan usahanya di sektor kehutanan di Indonesia dengan mendaftarkan perizinan usaha di departemen kehakiman. Banyak perusahaan transnasional telah membentuk joint Operation dengan perusahaan swasta dalam negeri untuk mengoperasionalkan konsentrasi HPH, sebaliknya keadaan ekonomi masyarakat lokal sebagai pengguna lebih awal atas sumber daya hutan dan produksi kayu menjadi lebih buruk setelah konsesi HPH di berbagai daerah oleh pengusaha transnasional. Untuk mengatasi penurunan dalam log ekspor negara memperkenalkan peraturan lain yang bertujuan mengekang ekspor log dan mempromosikan pembangunan industri plywood sebagai sentral dari industri pemrosesan kayu yang baru dikeluarkan oleh direktorat jenderal kehutanan. Adapun alasan utama untuk pembangunan hutan tanaman industri adalah kekurangan kayu untuk bahan mentah industri kayu dan dikembangkan sebagai alternatif untuk memenuhi keperluan kayu yang besar sebagai bahan baku. dengan begitu strategi pengembangan HTI berbasis tiga hal yaitu profesional, kelestarian, dan keuntungan perusahaan swasta. secara konseptual HTI adalah sektor kehutanan yang dikembangkan agar meningkatkan potensi dan kualitas produksi hutan dengan implementasi intensif silvikultur untuk menyediakan kayu industri sebagai bahan mentah.

Pengaruh aktivitas log dari pandang politik lingkungan yang memfokuskan dari tiga kata kunci yaitu isu politik, ekonomi, dan lingkungan. Pengaruh positif sangat dilihat dari politik ekonomi pemerintah, Soeharto mencatat sukses dalam undang-undang banyak investor baik domestik dan transnasional untuk menanam investasi di kehutanan Indonesia. Di samping itu pengaruh negatif dalam masalah isu lingkungan. Hal ini dikarenakan penebangan log yang berlebihan di banyak daerah menyebabkan kerusakan hutan dalam skala besar area kerusakan hutan mencapai 300.000 hektar pada tahun 1970-an dan sampai 600.000 hektar tahun 1980. Kerusakan hutan ini terjadi karena adanya kolusi antara pemilik kolusi antara pemilik HPH dan aparat pengawas dari kehutanan, kurangnya sanksi tegas, dan penegakan hukum bagi pelanggar peraturan kehutanan. Ada dua kunci untuk pengembangan industri plywood dari pertengahan tahun 1970 ke 1990, pertama pemerintah melancarkan kebijakan menyatu dari industri log ke pemprosesan plywood kebijakan ini berhasil dalam membangun industri plywood dan mendapat pasar yang lebih besar. Pengaruh negatif dari fenomena ini pertumbuhan yang cepat dari industri kayu lapis ialah terjadi rata-rata kerusakan hutan di banyak daerah.  kegagalan dari program HTI di berbagai daerah dikarenakan terjadi korupsi dan korupsi antara pengusaha swasta dan aparat kehutanan. Indonesia berencana menjadi penghasil pulp dan kertas yang utama di wilayah Asia Pasifik.  tantangan yang serius untuk melaksanakan ambisi ini adalah produksi yang tidak mencukupi sebagai bahan baku untuk industri kehutanan masa depan juga terjadi krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada akhir tahun 1997 sampai 2003 yang menyebabkan devaluasi mata uang rupiah. Di sisi lain terjadi ketidakstabilan politik dan sosial selama masa transisi pemerintah Soeharto ke reformasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline