Lihat ke Halaman Asli

Lingkaran Setan Industri Kehutanan (Part #1: Three Stages of Forestry Development)

Diperbarui: 1 Juni 2024   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

#PART 1: Three Stages of Forestry Development

Written by: 3R SSID Himasiltan IPB (team)

  • Introduction

Industri hasil hutan telah melalui perjalanan panjang yang penuh tantangan dan perubahan sejak masa kolonial hingga era modern. Dimulai dengan eksploitasi besar-besaran hutan jati oleh pemerintah Belanda, yang mengakibatkan degradasi serius dan menuntut upaya reforestasi, hingga masa pendudukan Jepang yang memperparah kerusakan akibat perang. Pasca kemerdekaan, pengelolaan hutan Indonesia menghadapi berbagai dinamika regulasi yang sering kali tidak efektif, membentuk pola "lingkaran setan" di mana eksploitasi berulang dan upaya pelestarian tidak mencapai hasil optimal. Meskipun ada kebijakan dan inovasi seperti sistem tutupan berkelanjutan dan pembangunan hutan wisata, tantangan dalam implementasi dan keberlanjutan pengelolaan hutan masih menjadi isu utama yang perlu diatasi untuk masa depan industri hasil hutan yang lebih baik.

Artikel ini akan membahas alasan berkembangnya industri hasil hutan dari beberapa aspek. Pembahasan akan dimulai dari sejarah pengelolaan industri hasil hutan dari masa lampau hingga masa kini yang telah melewati beberapa tahap namun belum perkembangan yang signifikan. Bobroknya regulasi, ketersediaan bahan baku, kualitas sumberdaya manusia, dan ketersediaan pasar akan dibahas dalam artikel ini dimana faktor tersebut dirasa penting dan berpengaruh terhadap perindustrian hasil hutan. Akhir dari tulisan akan membahas tentang alasan industri hasil hutan seolah olah berada dalam "lingkaran setan" yang terus berputar dikala perkembangan industri lain terus digencarkan. Jadi, bagaimana keberlanjutan industri hasil hutan di masa depan?


  • The Settlement Stage

Ilustrasi

Sejarah industri hasil hutan di Indonesia melewati masa yang sangat panjang. Pengelolaan hutan pada masing-masing era pemerintahan, serta implikasi ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya yang ditimbulkan dari implementasi instrumen hukum tersebut juga beragam. Mulai dari masa kolonial Belanda yang mengelola hutan alam jati (Tectona grandis) di Jawa dan Madura pada pertengahan abad ke-19, eksploitasi besar-besaran selama lebih dari 200 tahun oleh pemerintah Belanda dengan tujuan memasok bahan baku industri kapal kayu milik China dan Belanda, yang tersebar di sepanjang pantai Utara Jawa. Eksploitasi besar-besaran hutan alam jati oleh pemerintah Belanda mengakibatkan degradasi hutan yang sangat serius dan membuat kekhawatiran besar akan pasokan kayu jati untuk industri kapal kayu. Sehingga untuk memperbaiki situasi yang rumit ini, pemerintah Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda pada awal abad ke-19, tepatnya pada tanggal 14 Januari 1808, salah satu tugas yang dibebankan kepada Daendels adalah merehabilitasi kawasan hutan melalui kegiatan reforestasi pada lahan-lahan hutan yang mengalami degradasi serius. 

Mengemban tugas merehabilitasi kawasan hutan dengan tingkat degradasi serius tidak dapat dilakukan dengan mudah, maka Daendels membentuk Dienst van Boschwezen (Jawatan Kehutanan), membuat perencanaan reforestasi untuk kawasan hutan yang mengalami degradasi, mengeluarkan peraturan mengenai kehutanan, yang membatasi pemberian izin penebangan kayu jati, dan memberi sanksi pidana bagi penebang kayu-kayu jati tanpa seizin Jawatan Kehutanan, mengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan di Jawa. Namun, upaya Daendels untuk melakukan reforestasi dan membatasi penebangan kayu jati di Jawa dan Madura tidak dapat berlanjut dan mencapai hasil yang optimal, selain karena keterbatasan tenaga kehutanan, pengetahuan dan teknologi kehutanan yang dimiliki petugas-petugas Jawatan Kehutanan, juga karena pada tahun 1830-1870 van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang menimbulkan perubahan drastis terhadap kondisi hutan di Jawa, di mana banyak kawasan hutan dibuka dan dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan kopi untuk meningkatkan komoditi ekspor. Peraturan-peraturan hukum yang telah dibentuk tidak berlaku secara efektif sebagai landasan hukum untuk mengoperasikan pemangkuan dan pengusahaan hutan seperti yang diharapkan pemerintah Hindia Belanda. 

Masa pendudukan Jepang di Indonesia juga tidak kalah kelamnya bagi sejarah industri hasil hutan di Indonesia. Taktik perang bumi hangus yang dilakukan Belanda sebelum menyerah kepada Jepang telah menimbulkan kerusakan kawasan hutan jati  terutama di Karesidenan Semarang, Jepara, Rembang, Telawa, dan Bojonegoro. Boschwezen  (Dinas Kehutanan) juga tidak luput dari sasaran taktik penghancuran bumi hangus, agar tidak dapat digunakan dan dinikmati oleh bala tentara Jepang. Karena itu, kilang-kilang penggergajian kayu di Saradan dan Cepu serta tempat penimbunan kayu di Madiun dengan sengaja dirusak dan dibakar. Selain itu, jembatan rel gantung di Payak Sonde dalam kawasan hutan Ngawi juga dengan sengaja dirusak dan dihancurkan sebagai bagian dari taktik bumi hangus. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline