Prabumulih, Kota yang telah merdeka secara otonomi dari kabupaten induk Muara Enim sejak tanggal 17 Oktober 2001 atau kurang lebih 16 tahun yang lampau telah begitu menggeliat menjadi Kota yang Maju. Labelisasi positif semacam Prabumulih Kota Dagang, Kota Jasa, Kota Tujuan, Kota Transit, Kota nanas dan lain sebagainya justru menjadikan Kota Prabumulih Bumi Seinggok Sepemunyian ini sebagai salah satu contoh kota yang telah berhasil menjadi ikon otonomi daerah paska reformasi.
Periodesasi kepemimpinan Walikota Prabumulih yang bersuku-suku dan bermacam adat istiadat justru menjadi keunggulan tersendiri baik pada saat pemilihan kepemimpinan Prabumulih masih dilakukan oleh DPRD Kota Prabumulih maupun di era pemilihan langsung yang telah terjadi selama dua periode terakhir.
Model dan gaya serta giat kepemimpinan itu tentu saja sangat terkait dengan visi dan misi Walikota --Wakil Walikota terpilih yang tertuang didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Periode yang bersangkutan. Dalam dua periode terakhir, Visi Prabumulih PRIMA (Prestasi, Religius, Inovatif, Mandiri dan Aman) menjadi andalan dalam membangun Prabumulih secara berkelanjutan (sustainability). RPJMD tersebut tentu saja harus selaras dengan RPJM Provinsi Sumatera Selatan dan RPJM Nasional.
Data makro yang di-release pada tahun 2016 oleh BPS Kota Prabumulih menunjukkan bahwa geliat pembangunan Kota Prabumulih memperlihatkan pertumbuhan yang postif ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan Indek Pembangunan Manusia (IPM) yaitu 72,20% pada tahun 2014 menjadi 73,19% pada tahun 2015. Dari tahun ketahun juga bisa dilihat bahwa semakin menurunnya angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) perkotaan, yaitu sebesar 6,90% pada tahun 2014 menjadi 6,26% pada tahun 2015, dengan TPAK sebesar 70,71% pada tahun 2015 atau meningkat dari tahun sebelumnya (2014) sebesar 68,20%.
Pemerintah Kota Prabumulih juga tetap dapat menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap tumbuh positif dari tahun ke tahun (YoY) yaitu sebesar 6,55% pada tahun 2014, dan 4,34 % pada tahun 2015. Serta angka PDRB yang semakin meningkat yaitu sebesar Rp 4.436.104,66 pada tahun 2014 menjadi sebesar Rp. 4.984.101,05 pada tahun 2015. Hal ini tentu memperlihatkan bahwa Pemerintah Kota Prabumulih di era otonomi ini telah mampu membawa Kota Prabumulih lebih maju, berbeda dan terdepan, terutama disisi pembangunan infrastruktur dan ekonomi, sosial, spiritualitas, budaya dan kesehatan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pendekatan yang multi inovatif.
Namun demikian ditengah prestasi-prestasi yang diukir oleh pemerintah dan masyarakat Kota Prabumulih, permasalahan nasional, regional dan global yang terjadi akhir-akhir ini, seperti menurunnya (tidak menentunya) harga komoditas unggulan seperti karet dan sawit yang menjadi primadona di masyarakat dirasa sangat berpengaruh dengan daya beli masyarakat yang ditandai dengan angka Garis Kemiskinan (GK) Kota Prabumulih tertinggi di Sumatera Selatan. GK Kota Prabumulih sebesar Rp 441.420,00.
Artinya, biaya hidup di Kota Prabumulih pun dirasakan juga lebih mahal dari daerah lain di Sumatera Selatan. Hal ini tentu cukup memaksa Pemerintah Kota Prabumulih berfikir beribu akal dengan cara meningkatkan pendapatan masyarakat dan menggenjot belanja pemerintah. Upaya tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Prabumulih selama tiga tahun terakhir dengan fokus utamanya adalah meningkatkan pendapatan keluarga terutama keluarga yang berada di garis dan dibawah garis kemiskinan.
Disisi lain, faktual terjadi bahwa semakin hari Belanja Pemerintah (government spending) semakin menurun dari tahun ke tahun terutama sejak tahun 2015 silam. Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang selama ini menjadi idola dalam APBD Kota Prabumulih semakin hari juga semakin kecil. Hutang pemerintah terhadap rekanan (pihak ketiga) semakin membengkak dan harus segera dilunasi karena proses pelelangan proyek, kontrak kerja atau bahkan pelaksanaan pembangunan pekerjaan telah dilaksanakan sementara berita pemotongan (pemangkasan) DBH migas malah hadir di tengah tahun anggaran berjalan.
Ketidakpastian terhadap anggaran dan bergantungnya daerah terhadap dana bagi hasil migas ditahun-tahun sebelumnya tentu tidak akan mungkin bisa membuat Kota Prabumulih menjadi lebih maju kedepan, terutama bila pemerintah bersama legislatif dan masyarakatnya tidak bahu-membahu (bergotong royong) dan urun rembuk mencari cara agar "krisis pembiayaan pembangunan" ini tidak menjadikan Kota Prabumulih stagnasi dalam membangun. Solusi tentu harus dicari dan solusi tersebut harus menjadi obat perekat kuat dalam instrumentasi pergerakan pembangunan.
Gencar dan membahananya pembangunan nasional yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan nawacitanya terutama dalam hal pembangunan semua infrastruktur tentu tidak boleh terlewat dari Kota Prabumulih. Dan, betul saja Kota Prabumulih dalam periode ini telah berhasil menjadi kota percontohan gas nasional dengan tidak kurang dari 93% masyarakat kotanya pada tahun 2017 ini telah menikmati gas rumah tangga dan insya allah tahun depan akan menjadi 100%.
Rumah susun sewa (RUSUNAWA) lima lantai dengan kapasitas tidak kurang dari 120 KK juga telah dibangun melalui dana APBN Kementerian PU & PR di Islamic Center. Dan, tidak kurang dari 1.707 Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) juga telah dibedah selama tiga tahun terakhir ini sejak 2014 melalui program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) Kementerian PU dan PR. Kota Prabumulih pun bisa dipastikan akan bebas dari Rumah Tidak Layak Huni milik sendiri ditahun depan (2018).