Lihat ke Halaman Asli

fikrijamil

Wong Dusun Tinggal di Kampung

Kartini Itu Ada di Sampingku

Diperbarui: 21 April 2016   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kartini dirumahku.dokumen pribadi 

By. Fikri Jamil Lubay

 “Habis gelap terbit lah terang”... begitu Kata Kartini.

Mentari senja dibalik tirai bambu yang lusuh, hitam dan banyak bekas asap api (baca : kelatu) itu menyiratkan betapa pondok itu begitu keren untuk orang-orang didesa yang biasa menyebutnya dengan sebutan “Dangau”.  Dari sela bilah bambu itu nampak sebuah gerakan bola mata yang memandang nanar ke sekeliling ruangan yang bisa mengamati seluruh pergerakan dan kejadian diluar sana. Mata yang berasal dari sorot mata tajam sosok seorang perempuan tua nan renta yang sedang bermetamorfosa menyongsong malam yang insya allah syahdu.

Tarikan nafasnya yang terdengar berat diikuti dengan suara riak wheezing dan sedikit terbatuk menyiratkan suatu tafsir homogenik tuanya perempuan yang berada didalam Dangau ditengah kebun yang luasnya sebidang. 

Badannya yang terkena dan terbakar sinar matahari tetap putih bersih dan tidak legam.  Bahunya yang kokoh kekar dan berotot menggambarkan betapa perempuan tua itu nampak begitu “sakti” dan pasti seorang pekerja keras. Dia selalu tersenyum dan tidak pernah ngerumpi ditengah orang kebanyakan yang biasanya duduk-duduk berleha diatas tempat duduk yang terbuat dari bambu dan didesa kami biasa disebut dengan “pance”. “Pance” merupakan akronim dari “panjang cerite” (baca : panjang cerita).

Semua orang desa mengenalnya sebagai seorang janda tua, buta huruf yang menikah muda dan kemudian ditinggal suami saat masih belia dengan anak lima. Dan yang luar biasa adalah Beliau tidak seperti perempuan kebanyakan sekarang . Beliau tidak pernah menikah lagi sampai akhir hayatnya.

Beliau hidup bersama membesarkan anak-anaknya yang perempuan dan laki-laki di pedalaman hutan belantara Sumatera yang didesa kami disebut dengan “Gunjah”. Menurut cerita Beliau, waktu itu Hutan Gunjah itu merupakan hutan yang tidak bertuan. Siapa yang tenaganya kuat bisa membuka hutan seluas-luasnya alias tinggal menarik tali saja dipagar lalu dituani (dimiliki). Dan kemudian mereka akan bercocok tanam menanam padi dan lain sebagainya termasuk juga pepohonan karet. Begitu seterusnya sampai turun-temurun.

Kepedihan Beliau sebagai seorang janda tidak pernah nampak diwajahnya walaupun setelah ditinggal oleh suaminya,  Beliau juga harus kehilangan salah satu anak lelaki terbaiknya calon penopang kehidupan keluarga yang kemungkinan waktu itu baru berumur 12 tahunan. Tinggallah sekarang anaknya empat orang dengan 3 orang perempuan dan yang bungsu adalah lelaki gagah dan ganteng yang terkenal memiliki suara yang merdu mendayu, terutama bila mengumandangkan suara adzan.

Perempuan itu, dimalam yang syahdu itu mulai menghidupkan api  dengan puntung yang berasal dari potongan pohon karet dibawah dangau. Api itu disiapkan sebagai tanda bahwa ada orang di dangau itu, sekaligus asapnya juga untuk alat mengusir nyamuk. Api juga dibuat dengan maksud untuk mengusir hama binatang seperti babi hutan agar tidak masuk kedalam kebun dan mengobrak-abrik tanaman. 

Sambil membolak-balik ikan salai (ikan tape) hasil “bekarang” pagi tadi, Beliau tidak melepaskan tasbih ditangannya sambil terus berzikir menunggu isya’ yang sebentar lagi datang. Jauhnya kebun dengan lokasi desa menyebabkan banyak orang yang juga bertetangga  dengan perempuan tua itu saling bersahutan dan berkunjung satu sama lain untuk sekedar bercerita dan belajar barzanji dan sifat-sifat 20 dari Pencipta Alam Semesta.  Terdengar bunyi bersahut-sahutan “...qudrat...iradat...ilmu...hayat dan seterusnya berulang-ulang....”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline