Muhammad Fikri Haikal Saragih/Nur Agustilahmi Nasution
Hukum Adat Dalihan Natolu mungkin tidak lagi terdengar asing bagi masyarakat suku Batak Toba, tetapi untuk sebagian lainnya istilah ini masih jarang terdengar. Hukum Adat Dalihan Natolu sendiri merupakan filosofis dan dasar kehidupan masyarakat Batak, khususnya suku Batak Toba yang tinggal di Sumatera Utara serta diwariskan secara turun-temurun. Hukum ini memiliki arti penting dalam kehidupan sosial budaya karena bertujuan untuk memperlihatkan kesamaan peran, kewajiban, dan hak setiap individu dalam keluarga pada suku Batak Toba.
Dalihan Natolu diibaratkan sebagai tungku masak yang memiliki tiga kaki. Ketiga kaki tersebut melambangkan tiga unsur hubungan kekeluargaan pada suku Batak yaitu Somba Marhulahula (Tulang), Boru (Anak Perempuan), dan Dongan Tubu (Teman Marga). Somba Marhulahula memiliki makna hormat kepada hulahula, yakni kelompok marga dari istri, sedangkan Elek Marboru adalah sikap lembut kepada boru atau anak perempuan, dan yang terakhir yaitu sikap berhati-hati terhadap sesama marga atau Dongan Tubu.
Penulis menilai Dalihan Natolu sangat menarik untuk dibahas karena dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan seperti dijadikan pengatur interaksi sosial untuk menjaga kerukunan dan kekerabatan masyarakat Batak Toba, sistem ini mengatur bagaimana individu dalam berperilaku dan berinteraksi satu sama lain khususnya dengan orang-orang yang memiliki kesamaan marga. Hukum adat ini juga dapat dijadikan sebagai mediasi yang aman dan damai dalam penyelesaian masalah kehidupan.
Sebegitu pentingnya peranan Hukum Adat Dalihan Natolu, namun penulis menyayangkan bahwa pada saat ini banyak pihak khususnya generasi muda suku Batak Toba di Kota Medan kurang memahami dengan baik hukum adat ini. Penulis memandang hal ini disebabkan karena berbagai faktor seperti lingkungan, orang tua dan modernitas. Faktor lingkungan memiliki peranan penting dalam membangun pemahaman terkait hukum adat yang ada, contohnya anak yang hidup pada lingkungan yang masih kental dengan adat, dimana hukum adat digunakan dalam berbagai hal seperti pemenuhan kebutuhan dan sistem norma akan berbeda dengan anak lainnya yang hidup di daerah dengan keterbatasan adat istiadat, salah satunya adalah kota Medan. Selain itu orang tua juga memiliki andil dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum adat terhadap anak-anak mereka.
Pendapat penulis ini diperkuat dengan hasil wawancara bersama salah seorang mahasiswi suku Batak Toba yang berasal dari daerah Samosir yaitu Dormaulina Sitanggang. Dalam hasil wawancara, Dormaulina menilai bahwa orang tuanya memiliki andil yang penting dalam mengajarkannya pengetahuan tentang Hukum Adat Dalihan Natolu. Bentuk pengajaran ini diaplikasikan lewat ajakan untuk menghadiri berbagai upacara adat serta memperkenalkan dengan berbagai sanak saudara yang memiliki kesamaan marga. Modernitas juga menjadi faktor utama sekaligus tantangan terhadap eksistensi hukum adat ini, dimana sebagian orang menilai jika hukum adat yang berlaku sulit untuk dilakukan maka akan ditinggalkan, yang didasarkan dengan kebiasaan orang-orang saat ini yang lebih memilih untuk hidup praktis.
Dalihan Natolu dinilai tidak akan mudah hilang begitu saja, karena setiap hukum adat akan selalu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, hal ini juga sejalan dengan pendapat dari Fikarwin, selaku dosen Antropologi di Universitas Sumatera Utara. Ia mengungkapkan bahwa Hukum Adat Dalihan Natolu akan tetap bertahan apabila dilakukan modifikasi dan pembauran, yang berarti hukum-hukum adat akan disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada sehingga akan tetap terus ada di masyarakat.
Walaupun begitu sudah menjadi kewajiban kita khususnya generasi muda untuk tetap melestarikan dan menjaganya agar tidak hilang tergerus oleh waktu, karena hukum adat merupakan identitas dari masyarakat. Dalam menjaganya dibutuhkan peranan dari berbagai pihak, seperti peran dari pemerintah, masyarakat, dan diri sendiri. Pemerintah berperan dalam membuat peraturan perundang-undangan untuk menjaga nilai-nilai dalam hukum adat yang ada, seperti yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang kemajuan kebudayaan yang bertujuan untuk meningkatkan kontribusi dan ketahanan budaya Indonesia. Masyarakat sendiri dapat mengambil tugas untuk melestarikan hukum adat melalui berbagai kegiatan yang dapat dilakukan seperti upacara adat dan melakukan inovasi produk daerah seperti ulos, agar pengetahuan terkait hukum adat tetap bisa diwariskan dari masa ke masa. Dan yang paling terpenting adalah kesadaran dari diri sendiri untuk tetap belajar dan mempraktikkan hukum adat ini dalam kehidupan sosial budaya, khususnya generasi muda agar selalu aktif dalam mengambil peran menjaga kelestarian budaya, dan berani untuk ikut serta dalam setiap kegiatan adat sebagai bentuk menjaga identitas suku Batak Sumatera Utara khususnya di kota Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H