Lihat ke Halaman Asli

Fikri Hadi

Instagram : @fikrihadi13

25 Tahun Pasca Reformasi: Tercapai, Belum Tercapai atau Justru Kebablasan?

Diperbarui: 22 Mei 2023   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Reformasi 1998. Sumber : Infografis Liputan 6

Tepat pada 21 Mei 2023 lalu,Indonesia memasuki abad pasca reformasi. 25 Tahun yang lalu, peristiwa reformasi tersebut ditandai dengan pidato pengunduran diri Presiden Soeharto (Pak Harto) tanggal 21 Mei 1998. Pidato pengunduran diri tersebut disampaikan setelah beliau berkuasa sebagai Presiden selama kurang lebih 32 Tahun. Ketika itu, desakan agar Pak Harto mundur sangat kuat akibat adanya krisis moneter di akhir 1997 yang berujung pada konflik sosial, politik dan keamanan pada tahun 1998.

Pada Reformasi 1998 tersebut membawa 6 (enam) tuntutan yang dikenal sebagai agenda reformasi 1998, yakni : 1.) Adili Soeharto dan pengikutnya, 2.) Amandemen UUD 1945, 3.) Otonomi daerah seluas-luasnya, 4.) Hapus dwifungsi ABRI, 5.) Hapus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), dan 6.) Tegakkan supremasi hukum.

25 Tahun pasca reformasi, refleksi perlu dilakukan. Apakah tujuan dari reformasi tersebut telah tercapai atau belum. Istilahnya dalam agama Islam ialah Muhasabah.

Hasil refleksi tersebut menunjukkan ada 2 (dua) pandangan besar terkait hasil reformasi pasca 25 Tahun reformasi di Indonesia. Pihak pertama menyampaikan bahwa tujuan reformasi belum tercapai dan pihak yang kedua menyatakan bahwa reformasi di Indonesia tergolong 'kebablasan'.

Pihak yang menyatakan bahwa tujuan reformasi di Indonesia belum tercapai berlandaskan pada sejumlah fakta. Salah satunya ialah KKN Di Indonesia masih terjadi dan semakin tinggi. Terbaru, Menteri Komunikasi dan Informatika, J.G.P., ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan Menara BTS oleh Kejaksaan. Tidak main-main, kerugian negara diperkirakan mencapai lebih dari Rp 8 Trilliun.

Bahkan terkait korupsi tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof. Mahfud MD sampai berkelakar bahwa sekarang korupsi lebih gila dari Orde Baru. Korupsi di Indonesia semakin meluas pada hampir seluruh lini cabang kekuasaan di Negara Indonesia, bahkan termasuk penegak hukum di Indonesia.

Sedangkan pihak yang menyatakan bahwa reformasi di Indonesia kebablasan berlandaskan pada sejumlah fakta pula. Seperti Otonomi Daerah yang justru melahirkan raja-raja lokal di tingkat daerah. Penyelenggaraan Otonomi justru banyak yang tidak berjalan. Terbaru, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus turun ke beberapa daerah untuk mengecek jalan yang seharusnya menjadi kewenangan daerah. Pada akhirnya, Presiden Jokowi memutuskan bahwa jalanan di sejumlah daerah akan dibangun oleh Pusat. Lantas, apa gunanya berbagai dana yang jumlahnya sangat besar yang dikucurkan ke daerah, bahkan sampai ke desa kalau urusan jalan saja masih harus ditangani oleh Pusat.

Fakta lain yang dikemukakan ialah bahwa di generasi muda saat ini semakin kehilangan arah dan mudah terpengaruh oleh pemikiran negatif dari luar. Bagi generasi lama (60-90'an) tentu sangat akrab dengan pendidikan yang berlandaskan pada Pancasila serta pendidikan berbasis lokal seperti pelajaran Bahasa Daerah. Pasca Reformasi, pendidikan tersebut pernah dikesampingkan karena dianggap sebagai propaganda Orde Baru. Akibatnya, banyak generasi muda yang terpapar pemahaman yang tidak sejalan dengan pandangan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia seperti paham liberalisme, individualisme bahkan radikalisme yang pada akhirnya menjurus pada terorisme.

Pada akhirnya, belakangan ini mulai ada kesadaran tentang pentingnya Pendidikan Pancasila, sehingga pendidikan dan pemahaman ideologi berbangsa dan bernegara mulai digalakkan secara masif di sekolah maupun Perguruan Tinggi.

Di bidang Hukum Tata Negara, akibat dari adanya pandangan bahwa reformasi di Indonesia yang kebablasan tersebut, maka juga muncul wacana untuk kembali menghidupkan konsep-konsep ketatanegaraan terdahulu. Di antaranya seperti menghidupkan kembali Haluan Negara yang dulunya bernama GBHN (Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara), serta memunculkan kembali Utusan Golongan sebagai salah satu bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dari kedua pandangan besar tersebut, maka seyogyanya seluruh elemen masyarakat merefleksikan diri, berkontemplasi, muhasabah. Bagaimana Indonesia setelah 25 tahun di era Reformasi. Apakah semakin baik, berjalan di tempat atau justru mengalami kemunduran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline