28 Oktober 1928 menjadi suatu hari yang bersejarah bagi Hindia Belanda -- Nama Indonesia ketika masih berada di bawah jajah Belanda. Ketika itu, berbagai pemuda dari penjuru wilayah Hindia Belanda, dengan berbagai macam latar belakang berkumpul pada Kongres Pemuda II di Batavia (sekarang disebut sebagai Jakarta).
Hasil Kongres tersebut menghasilkan suatu ikrar pemuda yang kemudian dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Salah satu poin dari Sumpah Pemuda tersebut menyatakan bahwa "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia". Pada malam penutupan kongres, W.R. Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya yang berjudul "Indonesia Raya" secara instrumental di depan peserta kongres. Salah satu liriknya ialah "Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan tanah airku, Marilah kita berseru, Indonesia bersatu".
14 Maret 2022, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo bersama seluruh gubernur di Indonesia berkumpul di Titik Nol Ibu Kota Negara (IKN), Nusantara untuk melaksanakan Ritual Kendi Nusantara. Pada kegiatan tersebut, masing-masing gubernur membawa simbol berupa dua kilogram tanah dan satu liter air dari masing-masing wilayah mereka untuk selanjutnya dimasukkan dalam kendi berukuran besar dari tembaga, yang dinamakan Kendi Nusantara. Kemudian, Kendi Nusantara akan diletakkan di titik nol IKN sebagai titik awal pembangunan IKN.
Presiden Joko Widodo menyampaikan pada sambutannya di Ritual Kendi Nusantara bahwa ritual tersebut merupakan bentuk dari kebhinnekaan dan persatuan di Indonesia dalam rangka membangun Ibu Kota Nusantara.
Walaupun demikian, tidak sedikit yang mengkritisi ritual tersebut. Beberapa pihak yang mengkritisi ritual tersebut menyebutkan bahwa ritual tersebut merupakan politik klenik yang berdasarkan irrasionalitas yang justru merupakan suatu kemunduran dari politik modern.
Ada juga yang memandang hal ini dari sudut pandang budaya Jawa (kejawen), mengingat Presiden Joko Widodo berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. Hal ini diperkuat juga dengan pernyataan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang menyebutkan bahwa hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang berkepribadian dan berbudaya.
Landasan Pemindahan Ibu Kota Pada Masa Lampau
Ibu kota merupakan suatu hal yang sangat fundamental bagi suatu negara atau wilayah kekuasaan. Oleh karenanya, pemindahan suatu ibu kota merupakan suatu hal yang penting pula pada proses perjalanan suatu negara ataupun suatu kekuasaan.
Bila melihat masa lampau, ketika Indonesia masih terbagi dalam berbagai wilayah kerajaan, pemindahan ibu kota didasarkan pada hal-hal yang menyebabkan ibu kota sebelumnya tidak dapat lagi berfungsi sebagai ibu kota. Suatu perpindahan ibukota berpotensi menuju ke arah kebangkitan sebuah sistem kekuasaan. Namun sebaliknya, suatu perpindahan ibu kota juga dapat berpotensi menuju ke arah kemunduran sistem.
Sebagai contoh kemunculan Kesultanan Demak yang membawa membawa dan simbol-simbol kejayaan penguasa lama pasca invansi militer mereka ke Majapahit. Pendiri Kesultanan Demak, Raden Fatah memang masih satu garis keturunan dengan raja Majapahit. Akibat munculnya kesultanan Demak, hal ini membiarkan ibukota lama di wilayah kerajaan Majapahit menjadi belukar tak berarti dengan membangun ibukota baru di Demak. Jadilah Kesultanan Demak menjadi kerajaan besar Islam pertama di Pulau Jawa. Namun ketika berakhirnya era Kesultanan Demak, pusat pemerintahan dipindahkan oleh Joko Tingkir dari Demak ke Pajang sehingga lahirlah Kesultanan Pajang. Namun kesultanan Pajang tidak mampu menjadi suatu wilayah kekuasaan yang lebih hebat dari Kesultanan Demak dan justru mengalami sejumlah pemberontakan dan perebutan kekuasaan yang membuat jatuhnya kesultanan Pajang.
Ketika Indonesia sudah merdeka pun juga mengalami perpindahan ibu kota. Seperti ketika ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta dari Jakarta sejak pada tanggal 4 Januari 1946 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 dikarenakan Jakarta diduduki oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berboncengan dengan pasukan sekutu. Namun, Indonesia tetap eksis hingga saat ini dan ibu kota juga dapat kembali dari Yogyakarta ke Jakarta pada 17 Agustus 1950 setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) membubarkan diri dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).