Lihat ke Halaman Asli

Tradisi Panas dari Babakan Ciwaringin

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1354870360383943764

Menyoal sepakbola di Indonesia, seakan berbicara tentang utopia. Sisi-sisi yang saling berhadapan bergelut untuk tujuan yang berbeda. Tapi bagaimana dengan sepakbola api? Mengadopsi sepakbola, sepakbola api merupakan gabungan antara keahlian beladiri dan olahraga. Hal itulah yang coba diangkat oleh teman saya untuk proyek film dokumenter terbarunya.

Berbekal informasi yang minim, saya dan teman saya, Mahatma Putra, berangkat dari Jakarta pukul enam pagi menuju Cirebon dengan kereta. Tiap berkereta, saya selalu berharap mendapat teman duduk berupa lawan jenis yang cantik. Tapi kali itu jelas saya hanya bisa pasrah. Putra sangat jauh dari cantik, apalagi ganteng. Bentuknya juga tidak berterima umum: rambut gondrong sepunggung, celana jeans hitam lusuh, sepatu boots dari kulit, tindikan di daun telinga kiri dan kanan, serta tato yang memenuhi lengannya.

Tiba di Cirebon sekitar pukul sembilan, kami mengisi perut dengan jajanan tahu gejrot. Tahu yang diiris kecil-kecil, lalu disiram dengan kuah gula jawa yang sudah diramu dengan bawang merah dan cabe rawit. Itu enak sekali! Makan selesai, kami menuju hotel yang letaknya persis di depan stasiun. Sembari meluruskan kaki, kami mengatur strategi untuk mencari keberadaan sepakbola api di Cirebon. Sebelumnya, ibu saya yang kelahiran Cirebon, memberi tahu Babakan Ciwaringin adalah lokasi yang biasa mengadakan sepakbola api.

Kami bertanya pada pengurus hotel tentang sepakbola api. Nama Pesantren Jagasatru disebut. Letaknya dekat dengan hotel tempat kami menginap. Putra memutuskan untuk menyewa mobil, karena peralatan media rekam yang akan digunakan cukup banyak.

Sebelum singgah di Pesantren Jagasatru, Putra mengajak mampir di sebuah toko yang menjual busana muslim. Begitu transaksi sudah selesai, ia langsung mengenakan baju koko tersebut. Bentuknya makin aneh:celana jeans hitam yang kotor, sepatu boots, rambut gondrong sepunggung, telinga bertindik, lengan yang penuh dengan tato, dan baju koko warna hijau. Serta dengan tangan yang kerepotan membawa peralatan dokumentasi. Jadilah kami macam dihujani dengan tatapan iba.

Tak butuh waktu lama untuk mencapai daerah di Jagasatru. Walaupun daerah pasar, namun karena sudah siang, tidak banyak aktivitas yang menghambat lalu lintas di sana. Tak sampai lima belas menit, kami tiba. Beberapa santri sedang melaksanakan ibadah sholat dzuhur. Yang lain terusik dengan pemandangan aneh yang tadi saya jabarkan. Salah satunya saya ajak berbicara.

“Dek, bisa ketemu pengurus di sini?”

“Oh itu lagi sholat.”

“Oh ya udah kita tunggu di sini.”

Sang pengurus yang kami ingin ajak bercakap sedang sholat, kami menunggu. Begitu ia melakukan gerakan salam terakhir, kami bersiap-siap untuk bertanya. Ia berdiri, kami pun berdiri. Baru dua langkah untuk menghampirinya, ia sholat lagi. Haha.

Akhirnya kami berinisiatif untuk mencari pengurus yang lain. Berhasil, salah seorang santri bertubuh gemuk keluar dari ruang kelas.

“Maaf mas, kami dari media, ingin meliput tentang sepakbola api. Besok kan udah mau Idul Adha, ada acara sepakbola api ga ya?”

“Wah ga ada Mas. Di sini atraksi sepakbola api hanya dimainkan setahun sekali. Waktu tahun baru Islam, 1 Muharram.”

Kami mencoba untuk meminta sedikit peragaan untuk liputan. Beliau tidak mau, karena pesantren sedang sibuk mempersiapkan acara untuk menyambut pergantian tahun hijriah. Kami lalu disarankan untuk bertandang ke daerah Babakan Ciwaringin, tepatnya Pesantren Kebon Jambu. Menurutnya, daerah Babakan Ciwaringin lebih sering dan rutin melakukan sepakbola api.

Karena gagal, kami bergeser ke Babakan Ciwaringin. Daerah Babakan Ciwaringin terletak sekitar satu jam dari kota Cirebon. Ia masuk ke dalam kawasan kabupaten, bukan kotamadya. Mobil yang kami sewa bergerak menjauhi pusat kota.

Memasuki daerah Babakan Ciwaringin, kami bertanya pada penduduk setempat. Menurut informasi penduduk setempat, Pesantren Assalafie merupakan pusat kegiatan sepakbola api. Tiba di sana, lagi-lagi kami dihujani tatapan iba. Saya mengerti perasaan teman-teman saat saya masih berambut gondrong.

Lalu kami akhirnya bertemu dengan salah seorang yang terlibat langsung dengan sepakbola api.

“Maaf Mas, kami dari media. Ingin meliput tentang sepakbola api. Katanya Mas salah satu pengurusnya ya?”

“Iya, saya emang pengurusnya.”

“Mas sebagai apa? Manajer?”

“Bukan, saya supplier.”

Jidat saya sedikit berkerut saat mendengar jawabannya.

“Supplier sepakbola api gitu Mas? Jadi Mas yang nyediain perlengkapannya? Segala sesuatunya?”

“Ya pokoknya supplier, di atasnya manajer.”

“Ohh.”

Saya mengangguk untuk membatasi jawaban agar tidak semakin absurd.

Lebih lanjut, kami bertanya perkara latar belakang dan asal-usul sepakbola api. Dengan berapi-api, ia menjelaskan.

“Jadi menurut cerita turun temurun yang saya dapat, sepakbola api asalnya dari sini, dari Babakan Ciwaringin. Sepakbola api ini udah dimainin sejak jaman Belanda dulu. Sekitar tahun 1700an. Jadi sepakbola api ini awalnya digunakan untuk menakut-nakuti tentara Belanda.”

“Wah caranya gimana tuh Mas?”

“Jadi gini, jagoan yang paling tinggi ilmunya, yang paling disegani di kampung ini, naik ke atas bukit atau tebing. Terus kelapa yang sudah dibakar, ditendang ke arah markas musuh. Jauh Mas! Jarak dari bukit ke markas Belanda bisa 1-2 Km. Mas tau sendiri, orang dulu kuatnya kayak gimana. Nah semenjak saat itu, kita mainin sepakbola api sebagai ritual dan tradisi. Untuk menghormati kebudayaan lokal.”

Saya sekarang semakin mengerti mengapa timnas sepakbola kita susah untuk mencetak gol, gawangnya kurang jauh.

“Kami bisa minta sedikit peragaan sepakbola api Mas?”

“Wah ga bisa! Ada ritual yang panjang sebelum main bola api.”

“Wah apa aja tuh Mas?”

“Yang pertama kita harus minta izin kepada pengasuh. Kalau pengasuh mengizinkan, kita puasa satu bulan. Terus ada bacaan-bacaan yang harus diamalkan Mas. Jadi minimal ada waktu sebulan sebelum main bola api.”

“Ohh gitu ya? Jadi ga bisa kalau saya cuman pengen ngeliat peragaannya. Palingan cuman 10 menit aja gitu Mas?”

“Ga bisa Mas.”

Mendengar jawaban tersebut, saya dan Putra lemas. Usaha kami mirip berakhir gagal. Tapi masih ada Pesantren Kebon Jambu, seperti yang disarankan oleh pengurus di Jagasatru. Kami bergerak ke sana.

***

Tulisan “Tamu harap berkopiah/berjilbab” berdiri rapi di samping nama Pesantren Kebon Jambu. Hal tersebut membuat kami tertegun dan sedikit berpikir.

“Ah lo belinya tadi baju koko doang, ga beli kopiah.”

“Mana gue tau.”

“Iya juga sih, gue juga ga kebayang kalo lo pake kopiah, makin absurd aja.”

“Jadi gue harusnya pake jilbab?”

“Engga.”

“Terus, pake apa?”

“Kafan.”

Kang Hakim, salah satu pengurus Pesantren Kebon Jambu, menerima kami dengan sangat ramah. Perawakannya seperti pemuda harapan pesantren pada umumnya. Rambutnya rapi, berbaju koko, sarung, sinar mukanya cerah, dan dua tanda hitam di keningnya tanda sering bersentuhan dengan bumi. Setelah berkenalan lebih lanjut, Kang Hakim merupakan ketua seksi kedisiplinan dalam Pesantren Kebon Jambu.

13548704311100446665

Ia tampak bersemangat saat mengetahui kami akan meliput kegiatan sepakbola api. Kami disuruh menghadap langsung ke pengasuh yang merupakan anak dari pendiri pesantren ini untuk meminta izin. Beliau mengizinkan, dengan syarat tidak ada kegiatan yang terganggu karena ini.

Kami lega. Tidak seperti pesantren sebelumnya, Pesantren Kebon Jambu tidak melakukan ritual yang panjang untuk melakukan sepakbola api. Kami pun kembali ke hotel untukberistirahat.

Putra mengatur strategi sebelum tidur.

“Nyo, besok pagi-pagi kita shoot time lapse. Pas matahari terbit aja, dari jam lima subuh. Enaknya dari mana ya?”

“Mau dari pelabuhan? Kita naek becak aja ke sana.”

“Wah boleh dah! Cakep tuh!”

“Oke.”

Percakapan itu berhenti dengan sendirinya. Setelah ada jeda sepuluh menit dan suara dengkuran Putra. Sesuai strategi yang diobrolkan sebelum tidur, saya memasang alarm pukulsetengah lima pagi. Begitu alarm bunyi, saya bangunkan si Putra.

“Bentar nyo, tidur lagi sebentar aja. Gue capek banget.”

Mendengar jawaban itu, saya kembali ke kasur untuk memejamkan mata barang dua menit. Ternyata kombinasi lelah dan kantuk menyebabkan dua menit menjadi lima jam. Saya dan Putra baru bangun tidur pukul sepuluh.

Untuk mengoptimalkan konsumsi waktu, kami bergegas menuju Babakan Ciwaringin kembali.

***

Kang Hakim menjelaskan sepakbola api sudah menjadi tradisi di Babakan Ciwaringin lebih dari 40 tahun. Di Pesantren Kebon Jambu, sepakbola api adalah trik para pengurus untuk menumbuhkan kembali minat santri kepada seni beladiri yang semakin lama semakin memudar. Sepakbola api menjadi acara tahunan sejak tahun 2009. Selain untuk konservasi kearifan lokal, sepakbola api di Kebon Jambu juga menjadi agenda ujian akhir untuk para pemegang sabuk merah pencak silat.

Sesampainya di sana, kami langsung mengambil gambar. Beberapa aktivitas persiapan menjadi target dokumentasi: Mengupas kelapa, merendamnya dalam minyak tanah, dan membuat gawang dari bambu. Proses ini berakhir sebelum maghrib. Rencananya, prosesi ritual akan dilaksanakan selepas isya.

Sebelum melakukan ritual, Putra meminta Kang Hakim untuk memberikan sedikit olah fisik. Kang Hakim menyanggupi.

“Kang, bisa push up atau sit up gitu? Atau koprol kalau bisa.”

“Ohh gitu? Bentar yah!”

Kang Hakim memasang kuda-kuda. Ia berdiri lalu membungkukkan badan dan menyentuh tanah dengan tangannya. Kemudian, ia berdiri dengan tangannya. Ia berdiri dengan tangannya! Belum cukup, Kang Hakim yang sedang berdiri dengan tangan, melakukan gerakan push up! Saya tidak tahu apa istilah dari gerakan tersebut, gabungan antara hand stand dengan push up! Itu ajaib! Saya kira adegan yang sering terjadi dalam film silat mandarin tersebut hanya rekayasa! Lalu setelah melihat Kang Hakim melakukan gerakan yang sama persis, kini saya percaya kalau tuhan itu benar-benar ada!

***

Kang memimpin barisan untuk berlari-lari kecil menuju ke makam pendiri Pesantren Kebon Jambu. Setelah membaca beberapa bacaan, rombongan sepakbola api kembali ke lapangan. Saya kira mereka akan langsung membakar kelapa untuk dimainkan, saya salah. Saya dan Putra disuguhkan atraksi yang keren. Beberapa junior dipanggil maju ke depan. Di hadapannya sudah tergeletak beberapa lembar genteng.

“Terserah kalian mau mecahin pakai apa, pake jidat boleh, pake tangan juga boleh.”

“Prak, prak, praaak!”

Genteng pecah dengan gampang, untung saja itu pesantren, bukan toko, karena pecah berarti membeli.

Atraksi selanjutnya adalah permainan tongkat api. Kedua ujung tongkat sudah dilapisi dengan karung goni yang sudah direndam minyak tanah, dibakar. Kemudian para senior memainkan tongkat tersebut dengan diputar-putar melewati punggung, bawah kaki, serta dilempar. Saya benar-benar menikmati sajian ini. Biasanya saya hanya melihat atraksi tersebut di depan layar televisi, kali itu saya melihat langsung.

Berhubung keesokan hari, pesantren tersebut diliburkan, peragaan sepakbola api menjadi suguhan yang dinikmati oleh seluruh santri putra maupun putri. Santri putri yang letak asrama dan kelasnya terpisah mulai memenuhi lapangan. Mereka berteriak-teriak saat tongkat api diputar-putar. Saya yang sedang mengatur lampu, dianjurkan agar tidak terlalu dekat dengan para santri putri. Bukan muhrim, katanya.

Setelah beberapa atraksi selesai, saatnya untuk sajian utama, yakni sepakbola api. Kang Hakim mengambil kelapa dari bekas kaleng cat yang berisi minyak tanah. Kemudian kelapa tersebut dibakar sambil dipegang. Iya benar! Kelapa itu menyala-nyala di dalam genggaman Kang Hakim. Melihatnya, saya jadi berpikir kalau film Men In Black itu terinspirasi dari kisah nyata. Mungkin Kang Hakim adalah alien. Mungkin juga sebenarnya pesantren ini hanya kedok, yang sebenarnya adalah fasilitas rahasia dari pemerintah untuk melakukan ujicoba rekayasa genetika dengan robotik.

Api membesar, peluit ditiup. Sepakbola api pun dimulai. Yang bertanding adalah tim senior versus junior. Peraturan sepakbola api tidak jauh berbeda dengan futsal. Yang membedakan hanya bola, sisanya kurang lebih sama. Waktu pertandingan adalah 2x15 menit.

Sempat kelapa bergulir melewati kaki saya yang sedang memegangi lampu. Saya berani bersumpah, itu panas sekali! Padahal kelapa hanya lewat tak lebih dari satu detik di atas punggung kaki saya. Pertandingan berlangsung seru sekaligus menakjubkan. Bola yang menyala-nyala ditendang, disundul, dan dilempar para santri tanpa bekas, apalagi rasa takut.

“Ada luka ga, Mas?”

“Ga ada, paling bekas item sama bulu-bulu kaki pada rontok. Selebihnya biasa, paling kalau cedera itu karena keseleo, bukan gara-gara terbakar.”

Tidak seperti debus, sepakbola api adalah gabungan seni beladiri dengan olahraga. Di Pesantren Kebon Jambu, tidak semua santri bisa memainkan sepakbola api. Hanya yang sudah berhasil mencapai tingkat sabuk merah dan mendapat persetujuan dari senior mereka. Beberapa pesantren di Cirebon, mengadakan sepakbola api untuk menyambut tahun baru hijriah. Beberapa lagi untuk menyambut datangnya bulan ramadhan.

Tak ada yang tahu dari mana sebenarnya sepakbola api ini berasal. Jawa Timur juga punya tradisi ini. Masing-masing daerah saling klaim bahwa merekalah pencipta sepakbola api. Saya tidak ambil pusing, yang penting, ini kebudayaan Indonesia. Jika sepakbola Indonesia tak kunjung membaik, bagaimana kalau kita usulkan FIFA agar menggelar World Cup versi sepakbola api?

Flaming Soccer in Indonesia from Storyhunter on Vimeo.

[Cirebon dan Jakarta. Oktober 2012. Fikri]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline