Lihat ke Halaman Asli

Diskografi Saya

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mudah rasanya untuk menceritakan riwayat permusikan saya yang sebenarnya tidak begitu layak diceritakan kembali.

Saya besar di kota Bontang, kota kecil dalam provinsi Kalimantan Timur. Kota yang homogen untuk urusan musik. Jika salah satu teman punya kaset band tertentu, otomatis semua orang yang saya kenal akan juga menyukai band tersebut.

Masa kecil saya dijejali musik dari Nirvana, Guns ‘n Roses, FireHouse, Scorpion, Deep Purple, Helloween, Van Halen, Bon Jovi, apapun selama itu berdistorsi dan bermelodi panjang. Oiya, berambut gondrong serta bercelana spandeks ketat dengan biji menyembul.

Tidak sedikit VCD bajakan dibeli Ayah untuk mendoktrin telinga saya. VCD yang berisi kumpulan video klip dari band-band yang sudah saya sebut di atas. Belum lagi, laci dalam mobil juga berisi kumpulan kaset band tersebut. Jadi Ayah saya memang berpengaruh besar dalam selera kuping saya.

Saya tumbuh dengan suara sengau melengking Klaus Meine dalam reff Still Loving You, intro brilian Slash pada Sweet Child O’ Mine, dentuman drum Lars Ulrich dengan Enter Sandman, suara keyboard Van Halen, kemeja flanel kedodoran Kurt Cobain, dan video klip surealis Led Zeppelin. Kombinasi yang mengakselerasi berkembangnya keinginan untuk menjadi pemain band.

Saya juga sempat mendewakan Slash, tapi hey! Siapa yang tidak?

Saya sempat berharap, Slash segera mati. Lalu gumpalan energi yang berisi kemampuan bergitarnya terbang, dan hinggap di jejari saya. Imajinasi anak kelas 6 SD yang indah.

Apalagi ditambah melodi gitar pada intro Pelangi-nya Boomerang, suara serak “Aku di siniiiii, kau ada di sanaaaa,” bassline yang menancap di otak pada lagu Ojo Ngono, dan lirik yang seadanya milik Slank. Keinginan menjadi pemain band makin menjadi-jadi.

Saya ingin menjadi pemain band! Saya ingin menjadi drummer! Saya ingin memberikan denyut! Saya ingin mengatur tempo! Saya tidak mau hanya menjadi pemain pianika di upacara bendera! Saya harus jadi anak band!

Saya utarakan kehendak saya ke Ayah.

“Jangan jadi drummer, mahal alatnya. Lagian ga begitu oke. Gitar aja! Kamu harus bisa main gitar! Nanti kalo kamu udah gede terus nongkrong, kamu ga malu. Soalnya kamu bisa ngiringin temen-temen nyanyi pake gitar.”

Nasehat Ayah yang kerennya minta ampun.

***

Menurut saya, masa keemasan industri musik tanah air adalah ketika saya akan menginjak usia belasan. Saat saya baru tumbuh bulu. Saat suara saya mulai terdengar aneh. Saat Sheila on 7 berhasil membius jutaan orang untuk membeli kasetnya. Saat Padi sukses menebarkan lirik puitis dan membuat Indonesia menjadi romantis. Saat Jamrud mengubah stigma keren adalah berkupluk dan berkacamata hitam.

Saat Voodoo menyampaikan salamnya. Saat Bunga melarang kasihnya untuk pergi. Saat Tato menyuruh untuk melupakan problema dan meminta satu senyum saja. Saat Chrisye masih menangkap kesan cinta di dalam mata. Saat ME belum meniru gaya Korea. Saat Andre Hehanusa tahu kalau saya begitu. Saat P Project masih menjadi anak kost. Saat saya belum bisa main musik.

Saya memutuskan untuk les gitar. Telat memang, dimulai dari kelas 3 SMP. Tapi seperti kata-kata bijak, “tak ada kata terlambat untuk belajar,” saya sungguh-sungguh belajar gitar. Untuk bisa menggaet lawan jenis groupies. Niat yang suci dan mulia.

Saya mengambil les gitar klasik. Kata Ayah saya, “Yang penting kamu ngerti kunci dulu dan bisa genjrengin orang nyanyi. Nanti kalo udah bisa, baru les gitar lagi. Les gitar listrik sekalian, biar bisa ngeband!” Dan seperti kebanyakan orang yang baru belajar gitar, rasa sakit di ujung jari adalah hal yang lumrah dan harus ditahan. Demi tampil di atas panggung, rasa sakit harus dicoret dari otak.

Satu tahun saya bergelut dengan petikan gitar. Iya dipetik, bukan digenjreng apalagi dikocok. Saya dimarahi dosen pembimbing saya ketika menuliskan kata ‘mengocok gitar’ di dalam skripsi saya. Hahaha. Gitar klasik lebih banyak dipetik sesuai dengan notasi balok. Jadi selain harus belajar gitar, saya juga harus belajar notasi balok. Dua kali belajar.

Sedari les sampai sekarang, kemampuan bergitar saya meningkat. Dari tidak bisa sama sekali menjadi tahu kalau cara bermain gitar adalah dipetik, bukan ditonton dan bunyi sendiri.

Bermain gitar di depan orang lain, pertama kali saya lakukan ketika ujian praktek musik SMP sebagai salah satu syarat kelulusan. Saya ingin menunjukkan hasil belajar saya selama setahun ke teman-teman yang lain. Kebetulan, guru musik saya juga merupakan pengajar les gitar saya.

Saya main Romance D'amor. Begitu selesai, si guru musik menunjukkan ekspresi muka yang ‘ga sia-sia saya ngajarin kamu main gitar selama setahun’. Lagu kedua saya memilih untuk memainkan lagu ‘Bila Kau Tak Disampingku’ dari Sheila on 7.

“Kamu mendingan main gitar aja, ga usah pake nyanyi.”

Keinginan saya menjadi vokalis berambut gondrong diciderai guru SMP saya.

***

*segini dulu, sisanya nyusul.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline