Saya juga ada cerita mengenai tetangga kost depan kamar saya. Ga depan - depan banget sih, depan agak ke kiri. Mungkin itu kamar kutukan di kost ini. Ngga, ngga ada cerita seremnya sih. Tapi penghuninya sering berganti. Kamar itu berjamur dan udaranya lembab serta kalau hujan bocor. Lengkap.
Dulu kamar itu diisi oleh pasangan suami istri. Suaminya di mana, istrinya di mana. Kayaknya si suami sedang mengambil master, pun si istri. Cerita tentang mereka saya singkat saja ya. Lagipula mereka jarang berada di kamar. Cuman sesekali. Dan template-nya selalu sama, pintu dibuka sedikit lalu si suami sedang mengetik dengan bantuan komputer. Mereka jarang bersosialisasi dengan penghuni kost lainnya.
Setelah mereka pindah, barulah cerita ini dimulai.
Selanjutnya, kamar itu diisi oleh gorila. Selain untuk melindungi identitasnya, sebenernya saya juga ga inget siapa nama aslinya. Lagi - lagi saya bilang, cuman orang beruntung yang namanya bisa saya ingat. Ya sebut saja gorila, soalnya saya yakin kalau ia dan gorila sedang jalan berdua pasti orang lain susah ngebedain yang mana gorila yang mana yang bukan. Apalagi kalau gorila benerannya dipakein baju dan celana pendek. Sulit. Yang ngebedain cuman bulu matanya. Haha, saya juga ga ngerti kok nulis apaan.
Okay, ceritanya begini, gorila ini termasuk angkatan muda. Kalau tidak salah angkatan 2008. Beda tiga tahun dengan saya. Tapi sungguh, besar badannya kualitas super, bukan kw. Tahu kulkas dua pintu? Nah badan dia sebesar kardusnya. Dan itu bukan lemak. Itu otot. Saya masih bisa bedain yang mana lemak dan yang mana otot. Hahaha bukan gara - gara saya meraba dadanya, tapi karena ia menggantung baju karate di depan pintu kamarnya.
Perkenalan dengannya terjadi ketika ia baru menempati kamar itu. Baru pindah. Baru pindah setelah dua bulan maksudnya. Asalnya dari Cilacap. Tak perlu diberi tahu pun saya sudah mengetahui kalau ia berasal dari daerah Banyumas. Betul! Karena logat eksotisnya. Atlet karate, katanya yang menjelaskan seragam putih tergantung di depan daun pintu. Ia membawa sesajen untuk saya dan Bagus, setandan pizza. Dia cerita kalau dia kuliah di salah satu universitas negeri di Jogja. Jurusannya agak aneh, saya yakin saya tidak salah mendengar kalau dia menyebutkan teknik karate. Ah entahlah.
Kepindahannya tidak berpengaruh apa - apa dalam kehidupan kost pada bulan pertama, selain parkir motor bertambah sempit. Motornya cukup besar.
Pada bulan kedua dimulailah distraksi itu. Si gorila ini punya pacar. Sebelas dua belas. Kita sebut saja beruang sawah. Kalau yang ini bukan karena saya ga inget atau melindungi masa depannya, tapi sungguh saya ga tau beneran siapa nama aslinya. Mereka tinggal sekamar. Di ruang sempit dua kali tiga meter persegi mereka tinggal berdua. Padahal mereka berbadan lebih besar dari rata - rata. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa di dalamnya. Mungkin kayak sarden model baru. Sarden primata.
Suara mereka keras. Oke, keras banget! Kayak berbicara langsung nempel sama kuping, tapi faktanya mereka berada di dalam kamar mereka sendiri. Parahnya lagi, kost saya ini berbentuk lorong tertutup. Jadi suaranya seperti menggema. Mungkin karena kekuatan pita suara berbanding lurus dengan ukuran tubuh.
Pertama, saya kira dia berbicara keras hanya sesekali saja. Tapi ternyata emang tabiatnya kayak gitu. Kalau ibarat knalpot berarti pita suaranya udah setelan racing. Saya jadi sering mengetahui apa isi obrolan mereka di dalam kamar. Saya ga niat menguping, tapi dengan sukarela gelombang suara itu sampai di kuping saya. Kalau sudah begitu biasanya saya duduk manis mendengarkan kalau dialog mereka sedang seru. Kalau tidak ya saya balas dengan menyetel musik keras - keras.
Pernah suatu ketika, telinga saya menangkap pembicaraan mereka. Kurang lebih seperti ini.