Lihat ke Halaman Asli

Cerita Awal Tentang Awalnya Cerita Absurd - Dua

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

ada baiknya jikalau baca yang ini sebelumnya   Ketika saya sedang menanyakan arah UGM kepada petugas resepsionis inilah muncul dua perempuan sebaya di sebelah kanan saya. Mendapati raut muka saya yang kecewa karena tidak mendapatkan jawaban nomer bus yang menuju Perpustakaan UGM, salah satunya mengajak saya ngobrol. "Maaf mas" "Yaa?" "Mas ujian UGM juga?" "Hmm iyaa. Kamu juga?" "Iya kita berdua juga ujian UGM. Mas rencana mau ngambil apa?" "Hmm pengennya sih komunikasi, kalo kamu apa?" "Kita kedokteran mas" "Ohh oke - oke" "Mas dari mana?" "Tadi abis nyari makan" "Bukan, maksud saya SMA-nya di mana?" "Ohh hehehe. Kirain mau ngajak apa gitu. Aku dari Jakarta" "Kita dari Bali" "Hmm oke deh kalo begitu, sukses ya!" "Mas mau ke mana sekarang?" "Hee? Mau balik ke kamar" "Oohh Mas nginep di sini juga, yang mana kamarnya?" "Itu", sambil menunjuk kamar di lantai dua "Kalau kita yang ini, mas namanya siapa?" "Fikri, kamu", sambil menyodorkan tangan "Aku A, yang ini B", saya lupa siapa nama mereka . Hanya perempuan beruntung dan perempuan pembuat galau yang namanya membekas di ingatan. Hahaha. "Gini fik, jadi sebenernya si B ulang tahun besok. Fikri mau ikutan ga nanti malem jam duabelas? Kita ngadain pesta kecil di kamar" Otak bodoh saya yang masih berusia belasan tahun berfikir dangkal. Secetek genangan air di aspal saat gerimis. Dalam bayangan otak saya: Mereka dari Bali. Bali pergaulannya lebih bebas dari Jakarta. Ada dua orang perempuan berparas lumayan. Mengajak saya ke kamar mereka. Tengah malam jam duabelas. Ini hotel. Di Jogja. Bukan Bali dan Jakarta. Jauh dari keluarga mereka. Apalagi keluarga saya. Lalu otak saya sibuk memutar akal untuk memberi judul adegan yang saya harapkan terjadi dengan Next Door Amateur  atau My Hot Neighbor. Sayang sekali harapan tolol itu tidak pernah terjadi. Si B yang dari awal percakapan diam saja, tiba tiba menimbrung dan membuyarkan segala ekspektasi terlarang itu. "Iya fik, ikutan aja. Daripada kamu sendirian. Rame kok, ada orangtua aku sama orangtua A. Nanti mereka datang sebentar lagi. Ayo ikutan ya!" "Errrghh, lihat nanti ya. Soalnya juga ada janji sama teman SMA juga mau dateng ke sini" "Ya sudah kalau begitu. Tapi kita ngarep sih fikri ikutan juga" "Hehehe iya - iya liat nanti yaa" "Kalo ga ada orangtuanya sih gue pasti ikutan neng. Disuruh ngapain aja asal di kamar si neng sih abang rela", yang sekali lagi jika dilakukan di luar hati, maka saya sudah diusir dari hotel. *** Paginya saya terbangun oleh suara perempuan dan ketukan pintu. Saya buka pintu, A dan B di depan pintu dan telanjang. Hahaha tidak, ini bukan stensilan. Mereka muncul dengan kue tart di tangan. "Ini fik, kue tart ulang taun B" "Ohh kebagian juga, hehehe makasi ya! Oiya, maaf ya tadi malem ga bisa ikutan. Aku udah tidur. Selamat ulang tahun ya B" "Ya udah gapapa fik. Makasi ya!" "Iya. Kamu berdua udah mau berangkat ujian?" "Iya ini mau mandi terus pergi deh" "Okee, sukses ya ujiannya buat kamu berdua!" "Iya kamu juga fik!" "Ya udah sampe ketemu lagi, ga tau kapan" "Hehehe iyaa, dadaaahh" Seumur hidup, baru kali itu saya sarapan dengan kue tart dan susu.   *** Saya menyiapkan diri, packing dan sekalian cek keluar dari hotel. Saya kemudian menuju lokasi ujian. Dengan taksi! Saya menyerah bertanya. Lebih baik naik taksi. Lebih jelas, jelas saja lebih mahal daripada angkutan umum. Saya sudah siap menghadapi ujian tulis UGM dengan niat rekreasi ke Jogja. Begitu turun dari taksi, saya langsung mencari lokasi ruangan. Ujian dimulai setengah jam lagi. Waktu adalah uang, kata pepatah. Saya memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Setengah jam bisa digunakan untuk menghabiskan dua batang rokok. Saya malas untuk membuka buku dan belajar lagi. Membuka buku setengah jam sebelum ujian hanya akan mempertegas kalau saya tidak tahu apa - apa. Kontradiktif, walaupun niat saya piknik, tapi menjadi mahasiswa UGM sepertinya terdengar keren juga. Saya mulai berharap banyak menjadi bagian dari UGM. Harapan yang dimulai dua menit sebelum ujian tulis dilaksanakan. Harapan yang mulia sekali. Ujian dimulai. Saya duduk di kursi bagian belakang ruangan. Bukan paling belakang, ketiga dari belakang. Saya menaruh tas di depan ruangan dan mengambil kartu peserta serta alat tulisnya. Bangku sebelah kiri saya masih kosong. Ujian sudah berlangsung lima menit. Ia belum datang juga. Ketika memasuki menit ke sepuluh ia baru datang. Ia diperbolehkan mengikuti ujian.  Peserta yang duduk di sebelah saya adalah pria dengan rambut sepunggung dan telinga berlubang seukuran spidol papan tulis serta tindikan di seluruh bagian muka. Saya melirik kertas ujiannya. Asalnya dari SMA daerah Cimahi. Wow! Kamu sangat rock n roll sekali! Ruang itu panas. Hanya diberi kipas angin dengan tenaga mati-segan-putar-tak- mau.  Dengan rambut sepanjang itu, jelas hal itu sangat gerah. Hasilnya, sepanjang ujian ia hanya mengipasi bagian leher. Dengan kertas soal. Dengan kemampuan kognitif hapalan soal - soal dalam buku "Siap Masuk Perguruan Tinggi Negeri", saya mengerjakan pertanyaan sebaik mungkin dan sehapal mungkin. Soal matematika dasar saya kerjakan limabelas nomer dari duapuluh lima yang seharusnya. Mata pelajaran ekonomi saya menyerah. Hanya sanggup mengerjakan tiga soal. Itu juga masih dipertanyakan keabsahannya.  Sejarah, saya lupa mengerjakan berapa, tetapi ada satu pertanyaan yang melegenda. Pertanyaan yang tidak bisa saya lupakan, "Apa nama lukisan yang dibuat oleh seniman Indonesia dan dipajang dalam museum Belanda?". Pertanyaan ini harusnya diujikan dalam Who Wants To Be a Millionaire. Ujian sesi pertama selesai. Ada jeda setengah jam. Saya lapar sekali. Saya keluar mencari tukang makanan pinggir jalan setelah sebelumnya bertemu teman satu SMA di tempat yang telah disepakati. Pilihan jatuh pada bakso. Tidak mengenyangkan, tetapi cukup buat mengganjal lapar. Saya dan teman saya memesan dua porsi. "Pak, baksonya dua ya!" "Iya mas" Lalu saya membahas ujian sesi pertama yang baru saja dilewati dengan teman SMA. Sepuluh menit berselang, bakso belum juga terhidang. Saya dan teman melihat proses pembuatan bakso dari dekat. Si bapak penjual bakso menyiapkan satu mangkok dengan kecepatan yang mengagumkan. Seperti dalam tayangan ulang sepakbola.  Memotong sawi dengan gerak lambat. Seperti adegan film matrix. Mungkin dia terobsesi dengan Keanu Reeves. "Pak, baksonya masih lama ga?" "Bentar ya, Mas. Lagi rame. Lagi bikin limabelas mangkok lagi" "Oh yaudah, Pak. Kalo gitu ga jadi aja. Ini udah mau ujian lagi soalnya" "Sebentar lagi kok mas. Cepet kok" Percaya kalau tukang bakso ini membuat bakso dengan kecepatan tinggi, sama saja percaya terhadap pohon besar. Saya tetap berpegang teguh membatalkan pesanan. Lagi - lagi membohongi perut dengan asap rokok. Tapi sumpah saya lapar sekali ketika itu. Perut sedang tidak bisa ditipu dengan asap saat itu. Apa boleh buat, ujian sesi kedua sudah menanti. Psikotest akan dimulai. Saya tidak betah berada dalam posisi yang sama dalam waktu yang lama. Selalu saja melakukan gerakan - gerakan yang membuat tidak bosan. Entah bermain pensil, melipat kertas, menggambar, atau sekedar menjelajahi ruangan dengan pandangan. Saat itu pandangan saya jatuh pada perempuan di belakang pria gondrong tadi. Peserta yang menempati bangku di belakang pria itu adalah perempuan muslimahwati dengan busana muslim panjang yang relijius sekali. Kertas soal belum disebarkan, si perempuan itu berdoa komat - kamit dengan memejamkan mata dan menunduk ke bawah. Saya memfokuskan pendengaran. Suara berfrekuensi rendah yang keluar dari mulut perempuan itu terdengar. Ia berdoa dalam bahasa Indonesia. Yang intinya memohon diberikan kemudahan dalam mengerjakan ujian tersebut. Lima menit kemudian, ia masih berdoa. Saya mulai mengerjakan psikotest. Saya sangat siap menghadapi psikotest. Bahkan terlalu siap. Mungkin hanya psikotest yang menjadi tumpuan saya masuk UGM. Lima belas menit setelahmya, ia masih berada dalam posisi yang tidak jauh berbeda. Saya tidak memperdulikan ia lagi. Saya konsentrasi tinggi mengerjakan psikotest. Saya sudah selesai mengerjakan psikotest sebelum waktunya berakhir. Masih ada limabelas menit lagi. Saya melirik ke belakang, dan mendapati si perempuan relijius itu masih berdoa. Dan lembar jawabnya masih kosong. Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline