Lihat ke Halaman Asli

"Trensportesyen"

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jakarta bermasalah dengan sistem transportasi yang dianutnya. Jakarta macet. Klise? Memang! Tapi seklise apapun, cerita yang akan kamu baca di bawah ini tidak klise kok. Cerita tentang pengalaman saya dan teman saya berlalu-lintas dengan media transportasi pribadi dan umum di seputaran ibukota. Ibukota yang kejam, siapa suruh datang Jakarta?

Jakarta memang macet. Dan saya tidak habis pikir dengan orang - orang yang mengeluh macet. Teriak "ahh Jakarta macet anjiingg!", atau menulis status di situs jejaring social seperti twitter dan facebook, tentang betapa macetnya Jakarta di pagi hari dan sore hari. Padahal mereka mengendarai mobil sendirian. Buat saya itu bodoh.

Saya baru mengalami kebengisan amburadulnya transportasi Jakarta ketika SMA. Ketika masih bersekolah di SMA Negeri 28 Jakarta, saya memilih jalan kaki ke sekolah daripada naik angkot. Jalan kaki menghabiskan waktu sebatang gudang garam filter. Naik angkot menghabiskan waktu setengah jam. Ergh! Lagipula kalau jalan kaki, bisa cuci mata. Anak SMA berseragam sekolah lain jauh lebih enak dilihat daripada anak SMA berseragam sekolah sendiri. Entah kenapa.

***

Saya menjadi pengguna regular Transjakarta mulai pertengahan tahun ini. Khususnya jalur Senen menuju Ragunan dan sebaliknya. Haha.  Busway sekiranya menjadi cara peminimalisir kemacetan ternyata hanya anekdot. Belum lagi tagline-nya yang absurd. Take the bus, no it's way? Apa itu maksudnya? Ada yang bisa jelaskan?

Saya janjian pukul enam sore di Pejaten Village. Saya berangkat dari Senen pukul tiga sore. Dengan harapan masih ada waktu lebih untuk dipakai nongkrong di sebelah sekolah. Sekalian silahturahmi dengan teman lama dan ibu penjual nasi warteg di sana. Jalur Senen menuju Pejaten dilewati dengan tiga kali berganti koridor. Dari Senen berhenti di Harmoni, lalu dari Harmoni berganti jalur ke Blok M. Dari jalur mengarah Blok M, saya harus turun di Dukuh Atas untuk mengakses Ragunan. Di situ saya berhenti untuk berganti koridor, lagi.

Ekspektasi saya yang surplus satu jam dengan berangkat jam tiga untuk janjian jam enam ternyata runtuh. Saya sampai di Harmoni jam empat. Menunggu armada bus, seperempat jam. Di Dukuh Atas sudah pukul lima sore. Sampai Kuningan ternyata jam sudah menunjukkan jam enam sore. Alhasil Pejaten Village jam setengah tujuh. Orang yang saya ajak janjian marah. Ia sudah menunggu setengah jam. Katanya saya telat. Padahal saya berangkat tiga jam sebelum waktu yang ditetapkan bersama.

Berarti sebenarnya jarak yang bisa ditempuh dalam paling lama satu jam waktu normal, malah membutuhkan masa tiga jam setengah. Jika diambil rata - rata, orang yang tinggal di Senen dan harus kerja di daerah Kuningan menghabiskan masa hidupnya selama enam jam per hari. Dikali 25, maka hasilnya seratus limapuluh jam. Itu setara dengan enam hari. Berarti dalam sebulan rata - rata orang Jakarta menghabiskan waktu enam hari di jalan. Dalam setahun berarti tujuhpuluh dua hari dihabiskan di jalan. Wow! Seperlima hidup orang Jakarta dihabiskan di jalan. Okay kalau begitu, nak, kamu jangan hidup di Jakarta ya, kamu nanti tua di jalan.

***

Saya juga bingung akan memulainya dari mana, cerita terlanjur sudah berbaris. Terlalu banyak pengalaman saya dan teman - teman yang ironis dan tragis. Tapi jangan pesimis. Karena sebentar lagi ini akan berbuah manis. Menggunakan rima biar dikira penulis. Cukup fikri, hentikan! Ini terlalu hiperbolis. Hahaha.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline