Lihat ke Halaman Asli

Zulfikhar Gumeleng

Penerus Peradaban

Covid-19, Penanganan atau Penderitaan?

Diperbarui: 11 Mei 2020   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BeberapaBeberapa hari ini tentunya kita memandang hal biasa terkait data covid 19 yang di publikasi oleh website kemenkes Ri dimana data yang tercatat setiap hari tentunya menjadi ketakutan secara spesifik kepada psikologis masyarakat indonesia. Data yang hari tercatat pada tanggal 29 april 2020 hampir mendekati 10.000 yang terkonfirmasi atau 9.771 yang terkena covid 19, dan sembuh ada 1.391 pasien yang dinyatakan membaik, dan meninggal 784 orang. (Sumber : Kompas.com). 

Pada data ini, ada sebuah investasi penyebaran yang signifikan. ini merupakan hal yang tidak bisa di anggap biasa oleh pemerintah dan masyarakat, sebab covid 19 adalah wabah yang beda dengan wabah lain. Apabila negara & masyarakat ingin perubahan radikal, upaya yang dilakukan pemerintah sampai detik ini masuk pada wilayah bias (Kontradiktif) diakibatkan kurangya edukasi, dan memperbanyak berita tanpa solusi (dilematis jadinya). 

Di sisi lain pemerintah sudah melakukan rotasi kebijakan, namun akan sia-sia ketika penyebaran ini tidak ada alternatif yang absolut dari pemerintah, Ini yang mau saya katakan negara dalam kondisi 2 warna antara hitam dan putih (Menindaki atau menghardik). Kita semua memahami bahwa pandemik ini adalah tidak biasa, namun yang paling urgen adalah negara harus hadir serta konsentrasi total dalam memutus pandemik dan epidemik yg ada. 

Akibat dari tidak adanya keseriusan menanggulangi Covid-19, kita bisa melihat resesi ekonomi, krisis bahan pangan beberapa daerah, dan menurunnya pemasukan UMKM-UMKM Kecil, Buruh dan Pekerja Harian. Bahkan perlengkapan perang para Tenaga Medis dibeberapa wilayah, masih belum memenuhi standarisasi untuk menangani pasien suspect Covid-19 (Positif corona).

Di Indonesia, tentu saja tidak sembarang menggunakan Lockdown (Karantina wilayah), karena tidak pernah dibahas rancangannya dalam UU yang terkait. Indonesia sendiri memakai UU Karantina kemasyarakatan (UU Nomor 6 Tahun 2018), sebagai metode menjawab  pandemik Covid-19. Metode ini, banyak mengandung perhatian pada Keluar-Masuk lintas Negara maupun Provinsi, baik barang atau orang, membahas Zona Karantina dan juga langkah-langkah pencegahan, agar tidak tertular penyakit, sesuai dengan situasi kondisi yang ada.

Hanya saja, apakah metode Karantina Kesehatan ini akan baik apabila dioperasikan? Apakah metode ini hanya dikhususkan untuk Masyarakat, tapi tidak dengan Pejabat? Apakah Pemerintah mampu memenuhi segala Kebutuhan Masyarakat? Bagaimana dengan sanksi? 

Beberapa pertanyaan di atas, penulis akan coba jelaskan. 

Sembari menjelaskan, mari kita lihat dengan keadaan indonesia hari ini dimana sektor utama ketika diberlakukan UU Karantina kemasyarakatan ialah ekonomi sebagai penggerak globalisasi hari ini, Sedangkan, masalah baru yang pasti timbul akibat Karantina Kesehatan ini, seperti yang penulis katakan di atas adanya ketidakstabilan Ekonomi dan ketidakseimbangan kesejahteraan Masyarakat. 

Apalagi berbicara tentang Masyarakat kelas menengah kebawah, sejatinya tidak ada orang yg merasakan kedaulatan bila diberlakukan Karantina Kesehatan. Barangkali ada seorang Kepala Keluarga yang tidak sanggup memberi makan untuk anak dan istri. Bahkan dalam fakta pengalaman Pribadi, Penulis mendapati warung makan harga eceran ditutup paksa dengan dalih "guna memutuskan mata rantai virus Corona" ini sangat tautologis bahkan ini bisa dikatakan sebagai doktrin. 

Apa benar dengan menutup warung dan jualan pada masyarakat bawah dapat efektif untuk memutus mata rantai covid 19 ? Kita bisa lihat pada data hari ini di masing-masing kabupaten dan kota di setiap provinsi di indonesia. Sangat tidak relevan dengan hal tersebut, mengutip apa yang di sampaikan oleh harrari "untuk memutus penyebaran, kita harus pahami dan berpikir untuk tidak mengalaminya kembali" (Sumber : Twitternya Harrari pada tgl 26 april 2020). 

Kemudian Para pedagang Kaki Lima ataupun Restoran yang masih berjualan di atas Jam Malam, diciduk dan dibawa ke kantor Polisi setempat untuk disesuaikan sanksi Pidana yang termaktub dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Barangkali, ada seorang kepala keluarga yang selepas dari Rutinitas Pekerjaan, harus pulang larut malam dan harus menafkahi kebutuhan pangan untuk sang anak & istri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline