Lihat ke Halaman Asli

Indonesia: Not a Place Of Terror And Terrorism

Diperbarui: 17 Januari 2016   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari yang lalu pasca aksi teror di Sarinah, Jakarta terlihat sudah kondusif dan keamanan sudah kembali terkendali. Hal ini memang tidak dapat dipisahkan dari aksi cepat dan tanggap para aparat-aparat negara seperti pihak kepolisian, TNI, Gegana dan sebagainya yang berhasil menetralisir aksi teror tersebut hanya dalam hitungan menit saja. Apresiasi patut kita berikan kepada aparat-aparat tersebut, karena tanpa adanya mereka mungkin Jakarta bahkan kota-kota lainnya di Indonesia dapat dilumpuhkan oleh aksi terorisme dalam sekejap.

Ada yang menarik dalam peristiwa aksi teror, Kamis 14 Januari 2016 yang lalu. Di mana isu kapitalisasi ekonomi yang disebut dengan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) mulai menjadi topik terhangat pada akhir tahun 2015 yang lalu. Kemudian semakin meluas dengan adanya isu mengenai renewal contract PT Freeport Indonesia bersama Amerika Serikat. Terkait dengan hal ini, publik seakan-akan teralihkan oleh peristiwa aksi teror di Sarinah, Jakarta pada Kamis, 14 Januari 2016 yang lalu. Bagaimana tidak, karena pada saat yang sama juga terjadi negosiasi alot mengenai renewal contract PT Freeport Indonesia bersama AS. Walaupun memang pada akhirnya masyarakat teralihkan perhatiannya kepada aksi teror tersebut yang dianggap lebih penting karena mengancam keamanan dan ketentraman masyarakat.

Tidak hanya itu, sikap masyarakat global terkait aksi teror di Jakarta juga mengutuk keras peristiwa tersebut. Isu di dunia Internasional pun sedikit teralihkan dengan aksi terorisme di Jakarta. Terlepas dari peralihan isu tersebut, kembali memicu dampak yang kurang mengenakan bagi umat Islam. Hal ini dikhawatirkan akan kembali muncul isu Islamophobia. Seperti yang dikatakan oleh Din Syamsuddin (Ketua Dewan Pertimbangan MUI) bahwa “masyarakat tidak perlu berasumsi terkait peristiwa tersebut, karena jika saling menyalahkan dapat berdampak buruk bagi negara” (Republika, 14 Januari 2016). Dengan demikian, pemerintah, BIN dan aparat-aparat keamanan negara kembali menyoroti gerakan kelompok-kelompok radikal yang ada di Indonesia. Beberapa kelompok yang terduga memiliki jaringan terkait aksi teror di Jakarta kamis lalu mulai kembali diamati. Badan Intelejen Negara (BIN) yang tidak mau disebutkan kecolongan pada aksi tersebut memberikan keterangan sudah mengetahui beberapa kelompok yang merupakan memiliki kaitannya dengan aksi teror di Sarinah dan beberapa tempat lainnya di Indonesia.

Terorisme merupakan tindakan yang memiliki karakteristik utama, yaitu penggunaan kekerasan (Budi Winarno, 2011: 171). Dalam sejarahnya, para teroris ini lebih sering menggunakan cara-cara seperti memasang bom dalam tubuhnya untuk diledakkan di tempat keramaian atau biasa yang disebut dengan bom bunuh diri (Budi Winarno, 2011: 172). Hal ini seperti yang terjadi pada aksi terorisme pada Kamis, 14 Januari 2016 yang lalu di Jakarta. Dimana para teroris juga meledakan dirinya dan target dari aksi tersebut adalah tempat keramaian dan aparat keamanan. Menurut Robertson, teroris memilih target biasanya berdasarkan suatu alasan yang bersifat simbolik (Ann E. Robertson, 2007). Seperti yang pernah terjadi di Indonesia, pulau Bali yang dianggap menjadi basis para wisatawan asing menjadi target mereka.

Budi Winarno menyebutkan sedikitnya terdapat 3 (tiga) ciri terorisme, yaitu: Pertama, aksi terorisme cenderung menggunakan kekerasan untuk menarik perhatian. Kedua, menjadikan orang-orang yang tidak bersalah sebagai target. Ketiga, berusaha menarik perhatian atas maksud-maksud tindakan meraka (Budi Winarno, 2011: 171-173). Dalam hal ini, pemerintah Indonesia diminta untuk kembali siaga dan untuk mengurangi tindakan terorisme harus pula menghilangkan akar penyebabnya  dan adanya penegakkan hukum terhadap aksi tersebut. Di Indonesia sendiri sudah ada Undang-Undang mengenai terorisme, hal ini perlu diperkuat dengan tetap mengawasi gerakan-gerakan radikal di Indonesia secara represif. Sehingga akan menimbulkan rasa aman, nyaman dan damai pada masyarakat Indonesia maupun masyarakat global dan tidak ada lagi anggapan yang menyudutkan bahwa aksi terorisme atau kekerasan lainnya selalui dilatarbelakangi oleh umat Islam.

FIKHRI WAHYUDI, S.Sos

Alumni FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Aktivis FORSIPI (Forum Silaturahmi Pemuda Islam) Griya Parungpanjang




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline