Lihat ke Halaman Asli

Zulfiqar Rapang

Mengabadi dalam literasi

Dari Gambir ke Bandung, dari Griya Tawang hingga Pedesaan

Diperbarui: 10 November 2022   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: www.aa.com.tr/id/

PADA sisi luar jendela kereta, terlihat gedung-gedung tinggi dan griya tawang menjulang, rumah-rumah mewah, lalu corong-corong pabrik dan rumah-rumah kumuh, terpampang silih berganti. Dari jendela yang sama, kita bisa menyaksikan kelas sosial masyarakat ibukota, dan sepertinya, tricke down-nya Adam Smith tak menjangkau semua warga.

Itu dari Jakarta sampai Bekasi. 

Dan ini kali pertama saya menumpang kereta api.

Siang itu, Sebelum tiba di Gambir, impresi awal saya adalah stasiun itu sinonim dengan pengap, semrawut, dan penuh orang berdesak-desakan. Seperti yang kita lihat pada musim mudik medio 2000an. Namun saat tiba disana, kesan itu terjungkal 180 derajat.

Di stasiun, pelayanan dan penampakannya tak jauh beda dengan bandar udara. Nuansanya biru bercampur layer putih di sana-sini. Kursi tunggu ditata rapi sedemikian rupa, dengan calon penumpang antri teratur dan dilayani di beberapa loket tiket oleh mbak-mbak yang cantik jelita---setidaknya terlihat pada bagian atas maskernya.

Suara pembaca pengumuman juga terdengar seksi nan sopan, seperti permisi untuk masuk melewati gendang telinga. Yang ini khusus si mbak-mbaknya, kalau yang si masnya, cukup terdengar sopan saja.

Untuk menuju peron yang berada di lantai 3, kita bisa menggunakan beberapa eskalator yang tersedia. Layar digital informasi menggelantung dipelbagai sisi. Petugas kebersihan juga tak berhenti lalu lalang mengepel lantai yang baru saja kami lewati.
Begitu pula soal impresi saya tentang kereta yang sesak dan panas, dengan orang yang tiduran diantara lorong-lorong kursi, dan ratusan lainnya menumpang di atapnya. 

Rupanya itu mungkin hanya terjadi di masa-masa silam. Setidaknya tidak pada kereta pada kereta yang kami tumpangi ke Bandung, Argo Parahyangan. Di dalam gerbong yang kami tempati, empat kursi diletakkan berjajar dan bersusun hingga sepuluh deret kebelakang, dengan lorong cukup bidang ditengahnya. 

Model kursinya hampir mirip dengan salah satu bus yang sering saya tumpangi dari Masamba ke Makassar. Lebar dan empuk, dilengkapi meja kecil yang bisa ditarik dari dalam senderan tangan. Kaki juga dapat berselenjor dengan cukup nyaman.

Tak ada sama sekali kesan seperti yang bayangkan tadi. Hanya bising mesin kereta yang sayup-sayup dari luar menembus dinding.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline