Lihat ke Halaman Asli

Zulfiqar Rapang

Mengabadi dalam literasi

Pesantren, Oase Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 19 Juli 2019   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber foto: Jaazaidun/nusantaranews)

Itu di suatu pagi. Mungkin 2007 silam, saat  mengunjungi adik yang mondok pada salah satu pesantren di Masamba. Saya masih ingat wajahnya yang sumringah melihat saya tiba--dan kopiah putih yang ia kenakan. Usianya baru 12 tahun.

Jelang siang saya pamit pulang. Berjalan kaki ratusan meter dari lorong pesantren menuju jalan besar. Saya terenyuh saat melihat dia ternyata menguntit dibelakang. Saya menyuruhnya pulang, lalu dia hanya diam. Saya terus jalan, dia juga masih ikut dibelakang.

Barulah di jalan besar ia balik pulang. Wajahnya yang sendu terlihat dari balik kaca pete-pete yang saya tumpangi.

Saya mengenal beberapa kawan dan kenalan yang beberapa tahun terakhir berduyun-duyun memondokkan anaknya. Dan dari sana, saya sudah bisa mengira-ngira bagaimana rasanya menitip sang anak di pesantren.

Memang, warga kota kini cenderung memerhatikan aspek spritualitas ketimbang masa-masa sebelumnya. Begitu kalimat dosen semester II saya, beberapa tahun lalu. Kita bisa berspekulasi bahwa masyarakat paruh baya itu menjadi penyaksi merosotnya sendi-sendi moralitas.

Salah satu upaya mereka memotongnya adalah melalui pendidikan berbasis karakter. Dan pesantren tradisional dan/atau yang yang ngingris, Islamic Boarding Shcool, menjadi opsi utama. Disana pendidikan agama di integrasikan dengan kurikulum pendidikan umum.

Pesantren hadir untuk mengisi ceruk pendidikan yang mungkin saja tak terisi di sekolah formal. Yang sejalan dengan ujaran Muhammad Abduh: mendorong lahirnya personalitas  yang memiliki aspek akal (kognitif) dan spritualitas (afektif) yang imbang.  

Sembari merapal logaritma, vektor atau teorema phytagoras, santri juga mengaji kitab kuning, belajar haqiqi -majazi, nasakh-mansukh, atau qath'iyyah al-wurud dalam ilmu hadis. Istilah-istilah yang sampai sekarang tak saya paham.

Kualitas lulusannya tak perlu ditanyakan. Tentu tak perlu disebut lagi siapa pesohor: Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, peneliti, akademisi dan pengusaha yang lahir dari pondok pesantren.

Kita perlu banyak berterima kasih kepada dua ormas keagamaan terbesar di negera kita, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang menjadi semacam oase dalam dunia pendidikan tanah air, dengan model pesantren ini.

Sebab mesti akui, ormas inilah yang paling bertanggung jawab membidani lahirnya banyak tokoh inspirasi di Indonesia. Mereka mengasuh bangsa dengan standarisasi ketakwaan melalui syariat agama, tanpa luput mengajarkan nilai-nilai moralitas dilandaskan pada pancasila.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline