Lihat ke Halaman Asli

Takut (Surat ke-2)

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak tahu harus mulai menulisnya darimana. Aku hanya merasa dia telah menghuni sebagian dari diriku kurang lebih sejak sebulan yang lalu. Ku rasa ia mengetahui semua seluk-belukku. Bahkan cara membangunkan serigala yang hidup dalam jiwaku selama ini, serigala yang tak pernah tersentuh oleh tangan siapapun. Semenjak itu, aku tak pernah ingin mencari kata-kata yang mampu menyusun kalimat selamat tinggal. Aku hanya ingin tetap seperti ini, duduk disampingnya. Mungkin sifat acuhku kadang menjelma bagai bisa untuknya, bisa yang terkadang membuatmu seolah-olah tak berdaya. Mungkin keegoisanku sering membuat amarahnya membabi buta, aku hanya harap ia bisa mengerti.

Entahlah, aku bukan seseorang yang mampu mengutarakan apa yang ada dalam benak hatiku pada siapapun, bahkan kepada seseorang yang berarti untukku... Ia terkadang salah menangkap gerak-gerik yang ku lakukan. Alhasil ia merasa gagal dan aku merasa bersalah.

Aku masih termangu, menatap kekosongan pada pesan singkat itu. Kekosongan yang ku rasa mulai merasuki sebagian tubuhku, memacu rasa gelisah untuk terus bermunculan. Bagaimana tidak mematikan ketika moodnya tiba-tiba berubah menjadi mendung, untuk sekedar membalas pesan singkat saja ia memotong sedikit demi sedikit karakter hurufnya. Secara tak sadar otakku mulai bekerja secara keras untuk memecahkan mood buruknya yang bisa digambarkan bagai tsunami yang memakan banyak korban. Apalagi ketika ia mengutarakan bahwa akulah yang menjadi alasan mengapa ia seperti itu...aku cukup mati kutu untuk mendengarnya.

Satu hal yang sering ku takutkan ketika suasana mendung mulai ku lihat, ia meninggalkanku. Entah apa yang akan aku lakukan saat jejaknya mulai pergi menjauh. Tanganku masih mengetik kata demi kata yang mungkin bisa membantunya untuk tersenyum. Berharap itu bisa membantunya untuk tetap bertahan.

Rasanya seperti sudah jatuh tertimpa tangga ketika aku tahu kau mulai menunjukkan keacuhanmu lalu tiba-tiba aku mendengar kabar bahwa seseorang yang pernah mengisi harimu dahulu telah memutuskan hubungannya dengan lelaki yang telah ia pilih. Dan beberapa hari lalu kau katakan bahwa ia masih menghubungimu. Aku takut, takut kau menukar posisiku dengannya.

Tak terasa sesak dalam hati mulai mengais sebagian dalam diriku. Air mataku pun mulai mengalir membasahi pori-pori wajahku. Aku sadar, kau telah mengisi sebagian dari hatiku. Dan aku takut untuk melepasmu.

With love, me.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline