Lihat ke Halaman Asli

Ada

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suaranya kecil mendikte syair dan melodi manis karya indah sang dewa, Khrisna. Kupingnya selalu tertutup, namun terbuka leluasa untuk mendengar ini bisikan penyentil sukma. Dari himpunan satu ke himpunan lainnya, semuanya fasih di lidahnya—meski mungkin tidak begitu juga.

Nafas-nafas yang menghampirinya dan menyapa, jika tidak begitu penting, diabaikannya dengan tawa kecil sedikit memaksa. Jiwanya sedang tak ada, sementara, pergi terbang bersama alunan Ada. Dengan lembaran-lembaran yang terus menantang matanya, himpunan itu tetap indah didiktenya. Kucoba duduk di sampingnya, untuk turut serta menikmati yang memang cukup kusuka. Terlebih karena olehnya. Harus kuakui, ada yang sangat berbeda, semua lebih indah. Meski dia terkadang diam saja membiarkan alunan itu merembes ke udara, Aku tetap mendengar sukmanya bersuara—mendikte Ada. Sungguh amat kusuka keluarbiasaan terperanjat meski dengan keseakan-akanan di dalamnya.

Entahtelah usaikah atau masih—saat Dia menoleh dan sedikit melepas senyum yang hampir sedikit beda dari sebelum-sebelumnya terhadap tadi mereka-mereka. Ku lepas kata:

Memang indah untuk bersamanya melupakan sesaat dunia!”

Kuping yang tertutup itu, Dia lepas sumbatannya dan hanya tersenyum.

Oleh itu, sedikit hati teguh bahwa bersambut apa yang kurasa, meski mungkin belum terlalu begitu sama. Dia juga mungkin ada.

Terus kucari kala dan kata yang bisa membuat dia banyak bicara—tanpa menghenti alunan Adanya. Cukup beberapa kali pergeseran bata-bata. Terus mengolah di dalam dada, “Apa?”. Belum lahir hasil usaha. Aku masih di sampingnya.

Dia menoleh, dan kami berbicara:

Mengapa tidak bersama yang lainnya?”

“Aku tidak mengajaknya, lagipula kursi di belakang sana sepertinya sudah sangat empuk bagi mereka.”

“Maksud Aku, mengapa kau tidak ikut menikmati kursi empuk di belakang sana bersama mereka?”

Dengan sedikit malu kujawab “Dari belakang tadi, Aku yakin kursi ini lebih empuk.”

Dia hanya tertawa..

Kurangkai kembali percakapan: “Masih dengar lagu-lagunya sang Dewa?”

‘Ini bukan Dewa!,” jawabnya sambil tertawa.

“Maksudku Khrisna.”

O… masih..Surga Cinta.”

Aku hanya tersenyum menikmati bekas-bekas cerianya percakapan tadi. Apalagi tawanya, tawa yang anggun, tawa Bidadari. Ingin terus Aku bisa menikmati nyamannya jiwa yang melambung seperti tadi—jiwa yang sudah telalu sering dipontang-panting.Tapi, untung ada rasa yang lainini.

***

walau kini kau tak lagi

temani ragaku ini

cintaku hanya untuk

Engkau seorang.”

Di dalam sempitnya kotak-tempat jiwaku sesak. Aku masih saja dapat merasakan indahnya hadir Dia. Waktu mengenangnya adalah sesuatu yang paling selalu kuikhtiarkan. Dengan nada Ada, kucoba hadirkan dia walau bayangan. Biarkan Aku yang amatir, dengan dawai yang masih berbekas masa-lalu ku coba sambut yang baru, dengan alunan cinta penyuka Ada Dewa, atau Ada yang lainnya. Sekali lagi, keren rasanya.

Sungguh selalu Aku inginkan menyentil nada-nada Ada bersamanya. Entah kapan bisa. Teryakini, waktu pasti meminta tumbal untuk ini.

Kubangkit dan meletakkan enam dawai di atas lantai terkapar. Ku cari pengungkap perasaanku. Rupanya terhubungkan dengan hantaran penghidup. Ku cabut. Ku sinergikan perasaan dan pikiranku yang kutumpukan pada jemariku. Ku biarkan waktu dan kecanggihan mengantar kata hatiku padanya—pesan perasaanku tampil di layar canggihnya.

Terkadang, lama mengesalkan Aku menanti balasnya. Genggaman pengungkap perasaanku yang biasanya diam, kusengaja ributkan—supaya nanti, kalau balasnya ada, bisa segera kulari dan menjawabnya lagi.

Lama! Waktu sudah sangat mengesalkan (entah sebenarnya siapa). Untuk meredakan, ku tutup telingaku dengan Ada, ya..biar dia langsung ada dan Aku panjang lebar bicara perasaan dengannya, walau khayal. Sementara, selalu cukup sukses nada-nada ini memainkan emosi. Pantaslah kusematkan lencana padanya.

Masih belum berbalas, entah alasannya. Lama ini membuatku khawatir dengan pikiran yang meragukanku—perasaanya. Ada yang Aku juga ada, atau bagaimana. Dan kotak yang begini-begini saja mulai sangat memuakkan. Kumenenangkan jiwa kembali denganenam dawai, tapi bosan menghentikan. Memejam mata, mungkin bisa kupakai untuk mengalihkan. Berharap mimpi bisa membuat dia seakan bebas di malam hari.

Baru setengah kesadaranku tertidur, bunyi pengungkap perasaan canggihku telah menyedot sadarku kembali. Tersentak, bersegara kuraih, semoga dari dia, pencinta Ada yang Aku ada rasa. Kesal tersembur sampai ke luar kepala. Ternyata Bukan dari Dia! Ini dari orang yang akhir-akhir ini sangat menyebalkan. Ku lawan malasku untuk membalasnya dengan usaha bijak bahwa balasku dinantinya, sama halnya Aku yang juga menanti.

Hampir satu halaman penuh mungkin jika kutuliskan di kertas folio percakapanku dengan orang yang akhir-akhir ini sungguh menyebalkan itu—balasan dari dia belum ada. Kantuk yang tadi sempat datang sepertinya sukar lagi untuk menyambar mata. Menyebalkan!

Sampai hampir sedikit larut malam, dan Aku telah berhenti mengharap balasnya, akhirnya dia membalas. Baru bisa katanya. Soal moneter.

Kujajaki rasa-rasa hati yang pada akhirnya nanti akan membuatkutertidur dengan senyuman. Kulupakan betapa kesalnya hati menanti lama tadi. Kuungkap semua tanya-tanya yang akan membuatku semakin mengenalinya tanpa berkenalan jabat tangan atau langsung menanyakan identitas, apa yang dirutini, atau hal-hal lain yang membuatku tahu banyak tentangnya. Kuselimuti dengan kabut, entah kabut apa.

Sejauh ini, berbincang dengannya secara langsung atau tidak-masih hanya membuatku tertawa atau tersenyum. Harapanku, tak ada kekesalan yang membuat emosi api tersulut yang bisa merubah sedikit atau banyak keadaan biasanya. Amin!

Lebih dari tiga kali dia menyarankan untuk kulepas kesadaranku. Kucerna mungkin kantuk telah menggelitikinya. Kuakhiri balas-balas perasaan dengan harapan dia datang di ketaksadaranku yang indah. Sebenarnya, sedikit sekali mengecewakanku balas-balasan ini harus diakhiri. Tapi, dua kali dia ungkap rindu-hatinya menyibak kesal itu. Melayang seakan tiada gravitasi, perasaannya sudah cukup jelas. Aku terbalas, senang sekali! Dia juga Ada!

Seperti biasanya, akhir pertemuan langsung atau tidak langsungku dengannya selalu membawa senyum atau tawa, baik saat Aku sudah sendiri atau masih dengannya. Berbeda (ternyata), pertemuan tidak langsung ini berakhir dengan senyum dan tawa yang lebih membahagiakan. Perasaan berbalas, dia juga ada seperti aku ada!

***

Fajar. Kubuka mata, ada pesannya—mengingatkanku untuk bertemu dengan Yang Nanti Akan Mengakhiri Kisah Kami. Kutemui Dia.

Usainya, kuputar lagi Ada. Sisa-sisa tadi malam masih sangat utuh, hingga buatku ragu menyebutnya sisa-sisa.

“tak dapat kusangkali adanya dirimu

yang slalu menaungi pikiran batinku..”

Terus kubiarkan Ada itu mengadakan dia di pagiku—meski nyatanya dia di tempat beda. Oleh ada ini, Aku jadi tak suka dengan masih sunyi dan masih sepinya pagi. Aku ingin segera ramai, roda-roda lalu–lalang, agar segera Ia hadir di depan mata. Begitulah setelah dia ada.

Akhirnya ramai itu datang. Kugapai Ungu tempatku merasa sangat indah dengannya. Ternayata dia lebih dulu. Kulepas celoteh besarku seperti biasanya saat memasuki pintu (sebenarnya tidak biasa, kali ini itu ekspresi kesenangan jiwa yang begitu besar karena melihat dia dan mengingat indahnya malam tadi).

Kususuri seisi ruang, dan nanti akan berhenti di bangku—samping Ia terduduk. Taktik, agar tidak terlalu kentara dan tidak memancing sorak atau bisik-bisik teman ke teman lain tentang kami, tentang keadaan kami.

Ya. Kini, tepat sudah Aku di belakangnya. Meski kali ini tidak dengan Ada, kutetap lamunkan dia memainkan nada-nada Ada itu—khusus untukkku di anggapanku. Bergeser sang penentu, Aku sudah di sampingnya—bercanda.

“Berapa korban tewas malam tadi?” tanyaku.

“Ha?? Korban tewas??” dia meminta penjelasan.

“Nyamuk. Berapa yang masuk ke mulut dan kesasar malam tadi?”

“Ih… tidak ada…tidak segitunya juga ih..” elasnya.

“Iya?” kutimpali lagi.

“Iya..” dengan tawanya yang amat kusuka.

Percakapan langsung yang kuantitasnya lebih sedikit dibanding percakapan tidak langsung melalui kecanggihan udara ini harus diakhiri ketika “Sang pembagi” datang.

Tiga jam Aku bersabar dengan keresahanku menanti usainya bagi-bagi ini. Ingin kumulai lagi percakapan yang menyenangkan itu dengannya. Sekali-sekali bicara langsung tentang perasaan—ini harapan!

Nyatanya memang demikian. Jarang sekali pembicaraan-langsung terlaksana panjang lebar ketika kami bersama, jarang sekali.Terlebih berjujur tentang yang terasa di hati—Aku di dia dan sebaliknya. Padanya, di diamku di tempat yang sama dia, Aku hanya berakan-akan mendendangkan Ada untuknya, mendendangkan Ada bersama-sama, atau dia yang mendendangkan Ada untukku. Ya, Ada adalah bahasa kami yang paling indah tentang hati. Ada! Aku selalu berakan-akan dengan Ada tentang dia atau tentang kami—selalu dengan Ada. Nada-nada Dewa Ada atau nada-nada Ada lainnya. Selalu dengan Ada. Ada!

Ada pun menjelaskan perasaan yang patut membuatku memuji Yang Maha Ada, dia ada yang Aku juga ada.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline