Hilal telah tampak seperti diumumkan di televisi. Aku sumringah menyambutnya. Itu pertanda orang tuaku akan mendapatkan uang tambahan untuk lebaran.
Seminggu yang lalu, aku memang sudah diajak jalan-jalan dengan gerobak tua ayah. Biasanya kakak dan ibuku mengikuti kami dari belakang.
Karena aku masih balita, aku tidak pernah turun dari gerobak. Sehingga aku tahu apa yang ada di sekeliling ketika gerobak tengah berjalan.
Aku kurang paham kenapa ayah dan ibuku selalu berpenampilan compang camping saat 10 hari memasuki lebaran. Padahal keseharian kami tidak seperti ini.
Tapi kata ayah, bahwa hanya dengan cara itulah kami bisa mendapatkan tambahan uang. Biasanya ada para dermawan yang menghampiri kami dan langsung memberikan bantuan.
Bantuan yang kami terima sangat beragam. Ada beras, minyak, dan kebanyakan amplop berisi uang. Aku tidak pernah tahu berapa yang ayah dan ibu bisa kumpulkan dari amplop-amplop tersebut.
Yang aku tahu, setiap malam ada perkumpulan orang-orang seperti kami. Satu persatu memberikan setoran kepada seorang lelaki bertubuh tegap. Begitu seterusnya sampai malam lebaran.
Kata ayah, kami sudah menjalani kehidupan seperti ini selama 10 tahun. Sayang, ayah bilang kalau tahun ini pendapatan sedang berkurang. Katanya karena sedang ada pandemi. Itulah sebabnya kemanapun kami pergi, kami selalu menggunakan masker.
Kadang-kadang aku iri juga melihat anak-anak seusiaku bermain-main di halaman rumah. Rumah-rumah mereka sebenarnya sederhana, tapi aku melihat kehangatan. Anak-anak bebas berlarian sambil menggenggam sebuah lidi yang menyala.
Aku pernah protes pada ayah, kenapa kami tidak kembali ke kehidupan kami sebelumnya. Hidup tenang di kampung halaman. Tapi, setiap aku tanyakan, ayah tak pernah menjawab. Yang aku tahu, ayah sebenarnya punya rumah dan sawah di kampung. Kami sebenarnya baik-baik saja di kampung. Aku juga tidak mengerti kenapa baju kami selalu lusuh setiap mau lebaran.